SAKRAMEN BAPTISAN

Pengantar.
Dengan setengah mencibir, Pak De Ngatimin begitu sengit mendebat I Wayan Kompyang, seorang bapak muda tetangganya, yang baru pagi tadi menerima pelayanan Sakramen Baptisan Kudus bagi anak keduanya: Galuh; “Nak Wayan, baptisan di gerejomu iku (di gerejamu itu), baptisan saking pundi seh (dari mana ya)? Sopo sing ajari (Siapa yang mengajarkan) baptisan koyo ngono iku (seperti itu)? Coba Nak Wayan baca baik-baik dalam Alkitab, mana ada seh cah cuilik sing (anak kecil yang) dibaptis, apalagi sing masih orok (bayi)? Ndak ada Nak Wayan! Anak kecilkan belum tahu apa-apa, lagi pula moso’ sing dibaptis cuma ndase to’, cuma kapalane to’ sing diusepi (yang diusap) atau diperciken (dipercikkan) banyu (air) ? Walah-walah… gerejo mu iku kleru tenan (gerejamu itu amat sangat keliru) Yan!”
Belum sempat Pak Wayan berpikir mencari jawab – soalnya Pak Wayan yang  orang Bali itu tidak sepenuhnya paham apa yang dikatakan Pak De Ngatimin dalam Bahasa Indonesia campur Bahasa Jawa – Pak De Ngatimin kembali memojokkan Pak Wayan. Dengan gaya bagai seorang dosen, Pak De Ngatimin mulai ‘menguliahi’ Wayan : “Mari Nak Wayan, kita dengar opo sing (apa yang) kamus omongken (katakan) tentang baptisan: istilah “baptis” itu berasal dari kata Yunani “baptizein” atau “baptizoo” yang secara hurufiah berarti “dicelupkan atau dibenamkan ke dalam air”; dan yang menerima pembaptisan itu ya, orang yang sudah dewasa, yaitu mereka-mereka yang sudah cukup umur untuk mengambil keputusan untuk dibaptis atau tidak dibaptis. Jadi Nak Wayan; jelas di sini bahwa menurut Alkitab, yang memenuhi persyaratan untuk dibaptis ya bukan anak-anak kecil… jadi, gerejo sampean iku ndak Alkitabiah dan Injil seperti gerejoku Nak Wayan! Blih Wayan menjadi bingung berat dan cuma bisa bengong tanpa daya mendengar brondongan ‘kuliah magrib’ dari Pak De Ngatimin.
Sebenarnya pendapat atau cara pandang Pak De Nagtimin mengenai Baptisan sebagaimana yang ia anut dan nyatakan di atas adalah pengaruh Anabaptisme baik yang bermula di Munster, Jerman, pada tahun 1522, yakni salah satu sayap (radikal) Reformasi maupun ajaran dari Gereja Mennonit yang dimulai di Swiss pada tahun 1525 sebagai sempalan dari gerakan Reformasi yang dipelopori oleh Ulrich Zwingli (1484-1531) di Swiss. Nama Mennonit berasal dari nama Menno Simons (1497-1561) seorang imam / pastor Gereja Roma Katolik yang meninggalkan jabatan imam Katolik dan beralih menjadi tokoh gerakan Anabaptis (gerakan baptis ulang) di Belanda pada tahun 1536 yang lebih moderat dari yang berkembang di Jerman. Sebelum masuk dan berkembang di Belanda pada tahun 1530 melalui kiprah Melchior Hoffman (1493-1543), gerakan Anabaptis pertama-kali dimulai di Swiss sebagai protes atas sikap kompromi Zwingli dengan pemeritah – yang pada tahun 1524 menunda pelaksanaan komuni (Sakramen Perjamuan Kudus) yang reformatoris yang tidak seperti pemahaman komuni Gereja Roma Katolik – di bawah pimpinan Condrad Grebel seorang warga jemaat turunan bangsawan kaya yang selain menggugat campur tangan dan kendali pemerintah atas kehidupan gereja, termasuk dalam urusan Perjamuan Kudus, karena menurut mereka hal itu bertentangan dengan kehendak Allah, lantas pada saat itu juga kelompok ini mengajukan dua pokok pikiran: (1) membentuk Partai Reformasi sebagai partai politik baru di Zurich (dengan harapan bila menang akan membentuk dewan dan pemerintahan kota yang sepenuhnya akan mendukung laju Reformasi, dan (2) baptisan anak tidak sah, karena tidak memungkinkan calon baptisan untuk lebih dahulu menyatakan respons pribadi atas pengampunan dosa yang ditawarkan Kristus maupun untuk menyatakan ketaatan serta pertobatan, sebagaimana diamanatkan di dalam Alkitab. Pada tanggal 21 Januari 1525 kelompok kecil pimpinan Grebel yang kerap mengadakan ibadah-ibadah Penelaahan Alkitab dihebohkan oleh George Cajacob (= George Blaurock) peserta aktif kelompok PA yang meminta supaya Grebel melayani baptisan yang benar atas dirinya, yaitu sesuai dengan amanat Alkitab. Karena dalam persekutuan doa mereka itu tidak ada seorang pejabat gereja yang ditahbis, maka Grebel akhirnya memenuhi permintaan itu. Grebel juga membaptis orang-orang lainnya anggota dari persekutuannya itu, yang juga memintanya untuk dibaptis. Peristiwa ini oleh kalangan Mennonit dipahami sebagai hari lahirnya Anabaptisme. Mengapa penganut Anabaptisme menolak keras baptisan anak-anak dan begitu ekstrim dan fanatik untuk mempengaruhi orang yang sudah dibaptis pada waktu kecil – dengan baptis percik, meski dalam nama; Bapa dan Anak dan Roh Kudus – agar mengulang baptisannya dengan baptisan dewasa dan baptisan selam, karena menurut penganut Anabaptisme (Kaum Mennonit) pembaptisan yang sah sesuai ajaran Alkitab hanyalah pembaptisan yang dilayankan bagi mereka yang sudah mampu menghayati dan melaksanakan panggilan imannya. Karena itu hanya boleh dilayankan bagi orang dewasa yang sudah sungguh-sungguh menerima panggilan pertobatan dan hidup baru (jadi bukan sembarang orang dewasa). Sebab Baptisan tidak hanya berisi janji pengampunan, melainkan tantangan untuk merubah perilaku. Itu berarti megambil keputusan untuk menjalani jenis kehidupan yang sama sekali baru serta terikat sepenuhnya kepada perintah Kristus maupun pada ikatan persahabatan, sebagaimana yang diamanatkan Kristus dan para rasul – sikap ekstrim mana yang mengingatkan kita pada penolakan oleh zendeling (Penginjil) P.Janez untuk membaptiskan Ibrahim Tunggul Wulung pada tahun 1854. Tokoh Pribumi Jawa ini dinilai Janes kurang suci, karena masih mempertahankan budaya Jawa. Penolakan ini berkembang menjadi konflik di antara keduanya, yang mengakibatkan kerugian besar bagi pekabaran Injil dan pertumbuhan gereja di kawasan Muria (Semarang-Jawa Tengah) pada masa itu dan selanjutnya.
Mungkin anda pernah bersoal-jawab perihal topik “baptisan” seperti ilustrasi tadi, atau minimal dalam benak anda pernah bergumul dengan apa yang dipermasalahkan Pak De Ngatimin terhadap Blih Wayan dalam kisah tadi. Mengapa Blih Wayan bingung dan lidahnya kelu terhadap ceceran ‘kuliah magrib’ Pak De Ngatimin ? Karena Blih Wayan tidak Alkitabiah (= hidup kurang peduli pada Alkitab, kurang membaca dan menggali isi Alkitab, sehingga tidak dapat menjawab permasalahan sebagaimana apa kata Alkitab). Mengapa Pak De Ngatimin amat sombong rohani sehingga seenaknya menghakimi tentangganya, Blih Wayan dan Gereja di mana Blih Wayan menjadi anggotanya, sebagai Gereja yang tidak Alkitabiah? Karena, meskipun Pak De Ngatimin menyebut diri dengan bangganya sebagai yang Alkitabiah dan Injili, tetapi sebetulnya dalam realitas / kenyataan sesungguhnya Pak De Ngatimin ini juga tidak Alkitabiah. Mangapa? Karena Pak De Ngatimin tidak memahami Alkitab secara proposional; - karena tidak membaca Alkitab secara benar, eksegetis dan sistematis; baca Alkitab sih baca, tapi cuma membaca sesuai selera dan pengertiannya sendiri sehingga – baru tahu sedikit dan sepotong-sepotong lantas bergaya tahu segalanya, kemudian ngomong kesana kemari untuk menyalahkan orang lain sebagai yang tidak Alkitabiah dan tidak Injili.
Apa Kata Alkitab tentang Sakramen Baptisan.
Sebenarnya apa yang dipermasalahkan dan diperdebatkan Pak De Ngatimin terhadap Blih Wayan tersebut hanya ‘pepesan kosong’; maksudnya hanya sesuatu yang tidak ada gunanya, sia-sia serta tidak memiliki nilai kebenaran Alkitabiahnya.
Mengapa ? Karena masalah / dikotomi “baptisan selam dan baptisan percik” atau dikotomi “baptisan dewasa dan “baptisan anak-anak” yang sering orang Kristen perdebatkan hingga saat ini, sebenarnya tidak ada dalam Alkitab. Masalah / dikotomi tersebut bukanlah sesuatu yang prinsipiil dalam Alkitab; Alkitab tidak pernah membicarakan apalagi mempertentangkannya dalam perspektif (sudut pandang) yang dikotomis seperti itu. Bahkan dikotomi “baptisan selam dan baptisan percik” serta “baptisan dewasa dan “baptisan anak-anak” ini bukanlah terminologi (bahasa yang biasa dalam pembicaraan) yang Alkitabiah. Yang sesungguhnya terdapat dalam pemberitaan Alkitab adalah perihal :
  1. Baptisan PERSEORANGAN (Baptisan individual / orang per-orang), dan
  2. Baptisan KELUARGA (Baptisan kolektif/ sekeluarga: dilangsungkan bagi seisi rumah-tangga)
Mengenai dua jenis Baptisan ini kemudian Alkitab juga saksikan bahwa Baptisan Perorangan (Baptisan Individual) jarang sekali terjadi; dalam Alkitab tercatat hanya ada dua orang saja yang mendapat pelayanan Baptisan secara perseorangan atau secara individual, yaitu bagi: Kepala Perbendaharaan di Tanah Habsy (Kisah Para Rasul 9:3-38) dan Rasul Paulus (Kisah Para Rasul 22 dan 26). Mengapa mereka dibaptis secara perseorangan? Karena mereka tidak kawin, karena itu mereka tidak punya anak. Yang banyak dijumpai dalam kesaksian Alkitab adalah pelayanan Baptisan Keluarga (Baptisan Kolektif). Misalnya, Krispus dibaptis bersama seisi rumah-tangganya (Kisah Para Rasul 18:8 bandingkan 1 Korintus 1:14). Demikian pula Kornelius (Kisah Para Rasul 10:48). Lydia (Kisah Para Rasul  16:15). Kepala Penjara Filipi yang bertobat (Kisah Para Rasul 16:33). Juga Stefanus (1 Korintus 1:16) dan masih banyak lagi.
Kalau Alkitab menyebut “bersama seisi rumah” atau “bersama keluarga” itu maksudnya bukan sebatas pada orang-orang dewasa saja tapi sekaligus juga dengan anak-anak mereka; pada saat itu juga mereka bersama-sama dibaptis. Dalam hal ini – pembaptisan kepada anak-anak – dilayani berdasarkan iman, tetapi bukan iman individual, melainkan iman korporatif. Benar di sini anak-anak kecil belum tahu apa-apa tentang Kristus dan anugerah Allah, tetapi orang tua mereka dan anggota-anggota keluarganya yang lain sebagai persekutuan, tahu akan hal itu. Berdasarkan pengetahuan mereka itu – dan terutama berdasarkan pengetahuan iman jemaat yang mencakup mereka (keluarga ini) sebagai anggota – sama sekali tidak ada alasan untuk tidak membaptis anak-anak mereka (= membawa masuk anak-anak mereka kedalam kasih dan anugerah keselamatan Yesus Kristus).
Melalui kesaksian Alkitab mengenai iman korporatif sebagaimana yang dicatat dalam Injil Markus 2:1-12, bandingkan  Matius 9:1-8 dan Lukas 5:17-26 : kisah penyembuhan karena iman kawan-kawannya; dan Injil Matius 8:5-13 bandingkan Lukas 7:1-10 dan Yohanes 4:26-53: kisah penyembuhan karena iman tuannya (ayat 13), Alkitab menyatakan bahwa iman korporatif-pun berkenan kepada Allah, karena dipandang sebagai suatu kebenaran yang sah. Dengan mengacu pada (1) keberkenanan Allah terhadap iman korporatif, (2) arti semantik dari “baptisan” yakni tindakan membawa masuk kedalam kasih dan anugerah keselamatan dalam Yesus Kristus, maka sekali lagi tidak ada alasan bagi setiap orang percaya untuk tidak memberikan pelayanan Sakramen Baptisan Kudus bagi anak-anak, meski masih bayi sekalipun. Kuncinya adalah Iman Korporatif yang berlangsung dalam hal ini. Itulah sebabnya mengapa gereja kita melangsungkan pelayanan Sakramen Baptisan Kudus kepada anak-anak.
Alkitab Tidak Mempersoalkan Cara Pembaptisan
Selanjutnya, bila kita membaca Alkitab dengan teliti dan dengan akal yang sehat, maka kita akan mendapati bahwa Alkitab kita juga tidak pernah mempersoalkan “cara” pembaptisan seperti yang dibingungkan oleh Pak De Ngatimin dan Blih Wayan dalam ilustrasi kita di atas. Karena kata Yunani “baptizzo” sendiri memiliki multi arti yang sah (bukan cuma memiliki satu arti). Kata “baptizzo”di samping berarti “dicelupkan” bisa juga diartikan “ditanamkan ke dalam” tapi bisa juga berarti “dicurahkan”. Secara eitiologis (asal-muasalnya) Pembaptisan berpangkal pada upacara pembersihan atas yang haram menurut agama Yahudi,. Upacara pentahiran/menghalalkan diri itu dilakukan dengan cara membenamkan seluruh tubuh seseorang ke dalam air yang mengalir. Upacara ini mencerminkan pengharapan yang tertulis dalam kitab Yehezkiel 36:24-26, yang pada ayat 25 nya tertulis: “Aku akan mencurahkan (Ibrani: zaraq = memercikkan; Inggris: springkle) kepadamu air jernih yang akan mentahirkan kamu…”
Dalam kaitannya dengan Sakramen Baptisan Kudus, yang dipentingkan bukan dicelupkan atau tidak dicelupkan kedalam air, akan tetapi “dibawa masuk” atau “ditanamkan kedalam” kasih anugerah Kristus (Roma 6:5) atau “mengenakan” Kristus (Galatia 3:27). Itu yang penting dan yang prinsip. Karena Air baptisan sebanyak apapun dan atau yang mengalir sekuat apapun tidak dapat menyelamatkan orang dari belenggu dosa dan maut. Penggunaan air dalam baptisan percik merupakan lambang dari darah domba yang disembelihdalam perayaan Paskah Yahudi menjelang Musa membawa umat Israel keluar dari tanah perbudakan Mesir menuju tanah perjanjian sebagaimana yang dicatat dalam Keluaran 12 yang ketika dipercikkan/dibubuhkan pada kedua tiang pintu dan pada ambang atas pintu rumah menjadi ‘meterai keselamatan’ yang meluputkan umat Tuhan dari maut tulah ke sepeluh yang membinasakan itu. Dalam tradisi ibadah umat Perjanjian Lama, penggunaan darah domba yang dipercikan juga digunakan sebagai tanda pengudusan, pentahiran dari dosa-dosa (menghalalkan diri)
Yang Penting dan Prinsipiil dalam Sakramen Baptisan : Dengan Nama Siapa Kamu Dibaptis?
Dari nas-nas Alkitab yang bertutur tentang Baptisan, kita memperoleh pernyataan bahwa bukan “cara” pembaptisan yang penting dan merupakan hal yang prinsipiel, akan tetapi dengan “nama” siapa pembaptisan itu dilayani, yakni: dalam nama Tuhan Yesus; yang dalam rumusan baptisan sebagaimana yang Tuhan Yesus amanahkan/perintahkan dalam Matius 28: 18-20 adalah: dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus. Itulah sebabnya dalam kesaksian Kitab Kisah Para Rasul 19:1-12, meskipun murid-murid Yohanes sudah menerima pembaptisan (menerima baptisan Yohanes dari guru mereka yaitu Yohanes Pembaptis) namun karena mereka belum dibaptiskan dalam nama Tuhan Yesus (menerima Baptisan Yesus: dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus) maka atas diri mereka (murid-murid Yohanes Pembaptis ini) dilayankan lagi pembaptisan dalam nama Tuhan Yesus barulah kehidupan mereka dipenuhi kuasa Roh Kudus. Namun pelayanan baptisan dalam konteks Kisah Para Rasul 19 ini maksudnya adalah bukan merupakan pembaptisan ulang! Mengapa? Karena Baptisan Yohanes Pembaptis tidak sama dengan Baptisan Yesus.
Baptisan Yohanes Pembaptis Berbeda Dengan Baptisan Yesus
Baptisan Yohanes Pembaptis adalah “tanda pertobatan” (Kisah 19:4a bandingkan  Matius 3:11a, Markus 1:4, Lukas 3:4, Yohanes 1:26a) sedangkan Baptisan Yesus Kristus adalah “meterai keselamatan” (Kisah Para Rasul 19:14b, Matius 3:11b, Markus 1:7-8, Lukas 3:16, Yohanes 1:26b-27, Matius 28:18-20, Kisah  Para Rasul 16:30-33). Karena pada masa lalu murid-murid Yohanes Pembaptis belum dibaptis dengan Baptisan Yesus (= dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus), maka kini sebagai meterai keselamatan yang menandakan dipersekutukan/dibawa masuk ke dalam kasih dan keselamatan Kristus, merekapun kemudian dibaptis dalam nama Kristus yang Maha-ajaib dan Maha-kuasa itu.
Hal tersebut sekaligus menunjukan bahwa Alkitab sama-sekali tidak pernah mengajarkan orang untuk dibaptis ulang. Karena secara Alkitabiah, orang cukup satu kali saja menerima materai pembaptisan Yesus Kristus: dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, baik secara perseorangan (individual) maupun secara keluarga (kolektif), baik itu baptisan dewasa maupun baptisan anak-anak; dengan cara selam maupun percik; semuanya sah bila dilaksanakan sebagaimana yang diamanatkan oleh Tuhan Yesus, yakni dibaptis dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus. Satu kali menerima “meterai keselamatan” melalui Baptisan Yesus Kristus, yakni dengan dibaptis dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, bagaimanapun caranya adalah sah dan tidak boleh diulang-ulang.
Sakramen Baptisan merupakan Pemenuhan Amanat Yesus Kristus dan Pemenuhan Amanat Nikah Kristen
Dalam perspektif liturgis, Pelayanan Sakramen Baptisan Kudus yang dilayankan bagi anak-anak dalam rumah-tangga Kristen warga GPIB merupakan pemenuhan/penggenapan dari Amanat Tuhan Yesus yang dicatat dalam Injil Matius 19:14 (khususnya 14a dan 14b): “…”Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku…” dan Injil Matius 28:18-20: “…baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu…” sekaligus juga merupakan pemenuhan terhadap Amanat Nikah Kristen yang dibacakan oleh Pendeta (Pelayan Firman dan Sakramen) sebelum kedua mempelai – yang kini sudah menjadi seorang ayah dan ibu yang membawa anak untuk dibaptis – mengucapkan janji setia untuk menjalani hidup sebagai suami dan isteri yang saling setia dalam suka-duka, untung dan malang dan akan menjalani hidup dalam kesetiaan sebagaimana yang patut dibuat oleh seorang suami dan isteri yang beriman kepada Yesus Kristus; amanat nikah mana yang dalam liturgi pernikahan di GPIB berbunyi: hendaklah suami istri membentuk persekutuan yang tetap sampai maut memisahkan, membina rumah tangga dan kalau Allah mengaruniakan anak, memelihara dan mendidiknya dalam pengenalan akan Juruselamat. (Amanat Nikah yang kedua dari tiga amanat yang dibacakan menjelang Janji Nikah).
Jadi, saat orang tua warga GPIB membawa anaknya untuk di baptis, sebenarnya ia tengah melunasi hutang ketaatannya kepada Tuhan sebagaimana janji nikah yang diucapkan pada waktu peneguhan dan pemberkatan nikahnya di hadapan Tuhan dan Jemaat-Nya dulu; dan berbarengan dengan itu sekaligus juga merupakan wujud pemenuhan dari ketaatannya pada Amanat Yesus Kristus. Karena itu Sakramen Baptisan Kudus yang telah diterima semenjak masa kecil dulu – meski berdasarkan iman korporatif – tidaklah boleh dianggap sepele dan rendah, melainkan wajib dijunjung tinggi, dipelihara dan dijaga kekudusan serta keabsahannya. Inilah latar-belakangnya mengapa GPIB menolak praktek pembaptisan ulang (sudah dibatis waktu kecil kemudian ketika dewasa dibaptis lagi meski dengan cara yang berbeda sekalipun)
Bentuk Sakramen Baptisan yang Dilayankan di GPIB.
Ada 2 (dua) bentuk pelayanan Sakramen Baptisan yang dilayankan di GPIB; yakni : (1) Baptisan Anak sebagaimana uraian di atas dan (2) Baptis-Sidi, yakni Pembaptisan yang diperuntukan bagi warga gereja yang tidak masuk dalam kategori usia kanak-kanak lagi – dalam hal ini bagi mereka yang telah berusia remaja dan dewasa – namun yang dilayankan setelah yang bersangkut itu selesai mengikuti pembinaan Kateksasi secara penuh dan juga telah dinyatakan layak untuk diteguhkan sebagai Warga Sidi Jemaat. Jadi dalam hal ini GPIB bukan melaksanakan pembaptisan dewasa tanpa katekisasi-sidi, melainkan pembaptisan sekaligus peneguhan sebagai Warga Sidi Jemaat.
Makna Alkitabiah dari Pembatisan dalam Nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus
Dalam rumusan Liturgi Baptisan GPIB dnyatakan bahwa dibaptis dalam nama Bapa meneguhkan bahwa Allah mengadakan suatu perjanjian keselamatan dengan kita dan anak (anak-anak) kita dan mengangkat kita menjadi anak (anak-anak)-Nya dan pewaris dari perjanjian keselamatan tersebut. Dibaptis dalam nama Anak meneguhkan bahwa, Ia telah menyucikan kita dari segala dosa kita sebagaimana kita telah dikuburkan bersama dengan Dia oleh baptisan dan kematian-Nya, supaya sama seperti Kristus, telah dibangkitkan, demikian pula kita dipanggil masuk ke dalam hidup yang baru. Dibaptis dalam Roh Kudus, meneguhkan bahwa Roh Kudus akan berdiam dalam diri kita dan memberikan kepada kita oleh persekutuan dengan Kristus suatu hidup dari hari ke hari.
Demikianlah dengan baptisan kita masuk dalam persekutuan orang-orang beriman yang merupakan tubuh Kristus serta ikut mengambil bagian dalam pekerjaan keselamatan Allah.
Rumusan ini juga memuat kebenaran Alkitabiah yang menyatakan bahwa ; (1) Sakramen Baptisan adalah tanda atau meterai pengesahan dari keberadaan kita sebagai anak-anak Allah (bandingkan Yohanes 1:12) dan (2) Dengan Sakramen Baptisan kita juga “dibawa masuk” atau “ditanamkan ke dalam” kasih anugerah Kristus (Roma 6:5) sehingga menerima warisan sebagai anak perjanjian dalam perjanjian Allah kepada Abraham melalui garis keturunannya dengan Sarah sebagaimana yang Alkitab catat dalam Galatia 5:22-23,28 dan 30-31 : “…Tetapi anak dari perempuan yang menjadi hambanya itu diperanakan menurut daging dan anak dari perempuan yang merdeka itu (diperanakan) menurut janji…kamu, saudara-saudara, kamu sama seperti Ishak adalah anak janji…sebab anak hamba perempuan (yang budak) itu tidak akan menjadi ahli waris bersama-sama dengan anak perempuan merdeka itu…kita bukanlah anak-anak hamba perempuan, melainkan anak-anak perempuan merdeka.”
Sakramen Baptisan Kudus di sini dipahami sebagai inisiasi atau lambang dari perjanjian untuk masuk ke dalam persekutuan dengan Kristus; mati dan dikuburkan bersama Yesus untuk kemudian dibangkitkan untuk hidup baru dalam Dia (Roma 6:4-11).
Catatan Penutup.
Barangkali ‘filosofi stempel’ berikut ini akan membantu kita untuk tidak meremehkan makna baptisan yang telah termeterai atas diri kita. Dibaptis dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus dapat juga dipahami bahwa kita telah dimetrai (dicap/distempel resmi) pertanda sah menjadi “milik Kristus sah menjadi anak Tuhan " (Yohanes 1:12). Pada surat-surat berharga atau pada sesuatu yang berharga, meterai atau cap atau stempel cukup dibubuhkan satu kali dan tidak boleh dibubuhkan berulang-ulang sehingga menjadi tumpang tindih. Jika meterai atau cap atau stempel itu kedapatan tumpang-tindih, numpuk-nupuk tidak keruan (bertumpuk-tumpuk tidak jelas) maka ia malah menjadi cacat hukum, diragukan keabsahannya atau malah langsung dinyatakan invalid.
Oleh karena itu, baptisan/ meterai keselamatan itu perlu senantiasa dijaga dan dipelihara agar ia tidak ternoda atau kedapatan “cacat hukum” pada saat ini, maupun pada saat peghakiman nanti. Untuk itu, setiap warga GPIB apalagi para pemimpinnya (para pejabat gereja di jajaran GPIB) perlu selalu mawas diri dan wajib menjadi teladan/pantutan dalam hal baptisan dan juga dalam hal melakukan ajaran-ajaran gerejawi lainnya sebagai implementasi dari ketaatan menjalankan kewajibannya sebagai orang Kristen (warga GPIB) yang sejati, sebagaimana keteladanan Rasul Paulus dalam melaksanakan tugas pelayanannya melalui pesannya berkut ini: “…aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah aku memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri di tolak (1 Korintus 9:27).
Daftar Buku Bacaan :
  1. Alkitab, L.A.I.
  2. Tafsiran Kitab Kisah Para Rasul, Ds.H.v.d. Brink, BPK Gunung Mulia.
  3. The Layman’s Bible Comentari in Twenty-five Volume: Volume 13, Ezekiel,Daniel, Carl G. Howie.
  4. The Layman’s Bible Comentari in Twenty-five Volume: Volume 20, Acts of theApostles, Albert C. Win.
  5. Baptisan, J.L.Ch.Abineno, BPK Gunung Mulia.
  6. Sejarah Apostolat di Indonesia II/1, J.L. Ch.Abineno, Persetia-BPK Gunung Mulia.
  7. Baptisan Masal dan Pemisahan Sakramen-Sakramen, I.H. Enklaar, Persetia-BPK Gunung Mulia.
  8. Sejarah Gereja, H.Berkof – I.H. Enklaar, BPK Gunung Mulia.
  9. Harta Dalam Bejana, Th. Van den End, BPK Gunung Mulia
  10. Berbagai Aliran di dalam dan di sekitar Gereja, Jan S, Aritonang, BPK Gunung Mulia.
  11. Jesus and God’s New Peolple, The Four Gosples, Howard Clark Kee, The Westminster Press.
  12. Tata Ibadah Sakramen Baptisan GPIB
 

PENGERTIAN SAKRAMEN DALAM GPIB

APA ITU SAKRAMEN
Kata sakramen tidak diambil dari Alkitab, melainkan dari adat istiadat Roma, yaitu berasal dari kata sacramentum (Latin). Kata itu memiliki dua arti, pertama, sumpah prajurit, yaitu sumpah setia yang harus diucapkan oleh sesorang. Ketika ia diangkat menjadi prajurit. Kedua, uang jaminan yang harus disetor dan diletakkan di kuil oleh dua orang atau dua golongan yang sedang berperkara. Siapa yang kalah dalam perkara akan kehilangan uangnya. Uang jaminan itu disebut sacramentum (yang dijabarkan dari kata sacer = kudus), juga mengandung arti perbuatan atau perkara yang kudus, yang rahasia, yang berhubungan dengan para dewa. Kata sacramentum tersebut dipopulerkan oleh Tertullianus (sekitar tahun 200) menjadi istilah teologi, yang kemudian dipandang sebagai terjemahan dari kata mysterion (Yunani), yang mencakup segala sesuatu yang telah dibuat Allah dengan pengantara Kristus demi keselamatan manusia. Oleh karena keselamatan itu disampaikan kepada orang beriman dalam ibadah, maka beberapa upacara ibadah itu disebut sacramentum. Barulah kemudian pada abad pertengahan, Gereja membatasi secara tegas pengertian sakramen.
Augustinus yang sangat berpengaruh pada teologi abad pertengahan berkata: “Sakramen adalah tanda kelihatan dari hal yang kudus atau bentuk yang kelihatan dari kasih karunia yang tidak kelihatan”. Dengan kata lain Augustinus menyebutkan sakramen itu  “Firman yang kelihatan”.
Calvin mengumpamakan sakramen dengan suatu meterai (latinnya: sigillum, bandingkan “segel” ) yang lazimnya dikenakan pada suatu piagam untuk mensahkan isinya (bandingkan Roma 4:11). Bagi Calvin, “sakramen adalah tanda lahiriah yang dipakai Allah untuk memeteraikan dalam batin kita janji-janji akan kerelaan-Nya terhadap kita, agar iman kita yang lemah diteguhkan dan kita pun menyatakan kasih dan kesetiaan kepada-Nya”.  Lebih lanjut menurut Calvin, sakramen tidak berarti apa-apa apabila terlepas dari pemberitaan firman. Tanpa penjelasan tentang apa yang dijanjikan Allah, tidak ada sesuatu untuk dilambangkan atau dimeteraikan. Juga tanda-tanda atau simbol-simbol yang digunakan dalam sakramen tidak mempunyai daya atau kekuatan yang istimewa. Ia baru bermakna bila Roh Kudus bekerja di dalam hati manusia dan diterima dengan iman. Pemberitaan firman secara lisan dan pemberitaan firman dalam bentuk sakramen adalah dua tindakan yang tetap dilakukan dalam gereja dan kehidupan Kristen.
Pada zaman Gereja mula-mula, pada satu pihak baptisan dan perjamuan kudus ditonjolkan sebagai sakramen, namun pada pihak lain semua tindakan sakral, seperti pemberkatan, perminyakan dengan air yang diberkati, dianggap juga sebagai sakramen. Perbedaan jumlah sakramen ini dikarenakan adanya perbedaan pandangan mengenai hakekat sakramen. Menurut Gereja Roma Katolik sakramen adalah alat Allah untuk mencurahkan karunia rohani yang dihasilkan oleh korban Kristus di kayu salib ke dalam hidup orang beriman. Asal orang yang menerima sakramen tidak merintangi, maka ketika dilayankannya sakramen itu masuklah karunia rohani tadi ke dalam hidup orang beriman.
Gereja Roma Katolik dengan mengacu hasil konsili Trente (1547) menetapkan sakramen itu ada 7 (tujuh), yaitu: baptisan, penguatan iman, ekaristi, pengakuan dosa, peminyakan, penahbisan imam, perkawinan.
Sakramen baptisan, dicurahkannya pengampunan dosa warisan dan segala dosa yang dilakukan hingga saat dibaptis. Sakramen penguatan iman, dicurahkan karunia untuk bertahan terhadap segala godaan masa remaja dan pemuda. Sakramen ekaristi, dicurahkan karunia yang menguatkan iman dalam pergumulan hidup sehari-hari, dan sakramen ini menjadikan orang dapat menikmati tubuh dan darah Kristus yang hadir di dalam roti. Sakramen ini terdiri dari dua bagian, yaitu :
  1. ekaristi sebagai korban, yang juga disebut misa, yang setiap hari dilayankan oleh imam dan
  2. ekaristi sebagai perjamuan, yang juga disebut komuni, yang harus diikuti jemaat paling sedikit sekali setahun.
Sakramen pengakuan dosa, meperbaiki atau membaharui karunia yang dirusakkan atau ditiadakan karena dosa yang dilakukan setelah menerima baptisan. Yang pokok di dalam sakramen ini ialah pengampunan yang diucapkan oleh imam. Sakramen peminyakan, untuk memberikan kekuatan kepada orang sakit keras dan lanjut usia, agar ia dapat mati secara Kristen. Peminyakan dengan minyak suci menggambarkan peminyakan dengan Roh Kudus, yang mencurahkan karunia kepada orang yang akan mati, untuk membebaskannya dari dosa dan menguatkannya di dalam pergumulan yang terakhir. Juga dengan sakramen ini ada kekuatan baru yang dicurahkan. Sakramen penahbisan imam, memberikan karunia kepada yang menerimanya agar dapat menunaikan tugas sebagai imam. Dengan sakramen ini imam diberi kuasa untuk mengubah roti dan anggur mejadi tubuh dan darah Kristus, dan untuk mengampuni dosa orang yang menyesal atas nama Tuhan Yesus. Sakramen perkawinan, orang yang kawin dipersatukan dan diberi karunia bertahan terhadap segala pergumulan hidup dalam perkawinan.
Ajaran Gereja Roma Katolik mengenai sakramen ini berpusat kepada pengertian “sacramentum” atau “mysterium” atau “rahasia”. Dikatakan Sakramen adalah suatu rahasia, sebab di dalam sakramen itu senantiasa ada karunia yang baru yang dicurahkan.
Bagi Gereja Protestan tidaklah sama dengan pandangan Gereja Katolik. Sakramen tidak dipandang sebagai mencurahkan karunia rohani, sebab sakramen adalah tanda dan meterai, yang ditentukan oleh Tuhan Allah untuk menandakan dan memeteraikan janji-janjiNya di dalam Injil, yaitu bahwa karena korban Kristus, orang beriman mendapat keampunan dosa dan hidup yang kekal.
Yang dimaksud dengan tanda adalah suatu perkara atau suatu tindakan, yang tidak memiliki artinya pada dirinya sendiri, tetapi yang menunjuk kepada suatu perkara atau tindakan yang lain. Misal : Pelangi (Kejadian 9: 13) menunjuk kepada perjanjian Allah, bahwa Allah tidak memusnahkan segala yang hidup dengan air bah lagi. Sunat ( Kejadian 17: 11) menunjuk kepada perjanjian Allah dengan Abraham dan keturunannya. Demikianlah dengan yang digambarkan di dalam sakramen itu adalah: janji-janji Allah yang terdapat di dalam Injil, yaitu bahwa dengan pengorbanan Kristus di kayu salib, orang beriman memperoleh pengampunan dosa dan hidup kekal.
Sebaliknya sakramen adalah meterai, yaitu sesuatu yang dipakai untuk membuktikan kemurnian bahwa yang dimeteraikan adalah benar, dapat dipercaya. Demikianlah Sakramen disebut meterai yang berarti, bahwa sakramen adalah untuk mengokohkan dan menyatakan janji-janji Allah itu benar, dapat dipercaya.
Sakramen adalah tanda dan meterai bukanlah yang ditetapkan oleh manusia atau gereja, melainkan ditetapkan oleh Allah. Karena itu bila kita ingin memperoleh kepastian, apakah sesuatu adalah sakramen atau bukan, kita harus menyelidiki terlebih dahulu apakah ada perintah penetapan Allah mengenai hal itu atau tidak. Menurut Gereja Protestan, sakramen yang diperintahkan oleh penetapan Allah hanya ada dua, yaitu : perjamuan kudus (Matius 26:26-29; Lukas 22:19; 1 Korintus 11:23-26) dan baptisan (Matius 28:19-20).
Daftar Kepustakaan :
  1. Hadiwijono,H,, Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
  2. Hadiwijono,H,, Inilah Sahadatku, Jakarta: BPK Gunung Mulia,1995
  3. Soedarmo,R, Ikhtisar Dogmatika, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982.
  4. van Niftrik, G,C, & Boland,B,J, Dogmatika Masa Kini, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
  5. Lohse,Bernhard, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.
  6. Jonge,C,de. Apa itu Calvinisme?, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
  7. Verkuyl, J, Aku Percaya, Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1993.
  8. Calvin Yohanes, Institutio (Pengajaran Agama Kristen), Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2000.
  9. Heuken,A, Ensiklopedi Gereja,7, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005.-I
  10. Majelis Sinode GPIB, Bahan Pelajaran Katekisasi Buku-I
 

MENGAKUI KESALAHAN


Bacaan YEREMIA 3 : 11-13

"Hanya akuilah kesalahanmu, bahwa engkau telah mendurhaka terhadap TUHAN, Allahmu..."(ay. 13)
Belum lama berselang dunia penerbangan di Indonesia dikejutkan oleh jatuhnya pesawat super jet Sukhoi 100. Seluruh penumpang dan awak pesawat tak ada yang selamat. Menurut kabar pesawat tersebut sangat canggih, pilot dan co pilotnya sudah memiliki jam terbang yang tinggi. Sampai sekarang belum diumumkan penyebab kecelakaan tersebut tetapi komentar para ahli mengatakan penyebabnya adalah  "human error"(faktor kesalahan manuia). Agen pesawat tersebut di Indonesia menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh keluarga koban.
Israel dan Yehuda berbuat kesalahan yang sangat fatal, mereka sama-sama telah jatuh kedalam dosa. Sekalipun Israel merasa lebih benar ketimbang Yehuda, di mata TUHAN kesalahan keduanya sangat berat. Mereka tidak lagi mendengarkan suara TUHAN bahkan telah berbuat durhaka dengan menyembah berhala. Mereka telah murtad dengan membelakangi TUHAN.  mereka melakukan perzinahan yang keji di mata TUHAN. Sekalipun demikian  TUHAN tak dapat menyangkal diri-Nya bahwa Ia adalah kasih dan mengasihi umat pilihan-Nya. Ia mengutus Yeremia agar umat-Nya  mau berbalik kepada-Nya. Dengan penuh kasih Ia berkata, "Aku ini murah hati dan aku tidak akan murka untuk selama-lamanya" (12b). Hanya saja ada satu syarat yang Tuhan minta yaitu "akuilah kesalahanmu".

Sehebat apapun, sebagai apapun jabatannya, serohani apapun hidupnya, kita adalah manusia biasa yang biasa berbuat salah. Bersalah kepada Tuhan, kepada pasangan, orangtua, anak, bawahan dan sebagainya. Setiap kesalahan tentu memiliki kosekuensinya sendiri. Mengaku kesalahan terasa agak memalukan, tetapi merupakan cara terbaik membebaskan kita dari kesulitan berikutnya. Memelihara kesalahan hanya akan membuat hidup kita semakin sulit.

DOA; sangat besar kuasanya

YESUS MEMBUATMU BERHARGA