(MEMAHAMI SISTEM
PRESBITERIAL SINODAL GPIB)
Pdt P.H.Sitorus,
M.Th.
I.
PENDAHULUAN
Secara
historis istilah “presbiterial sinodal” sebagai sistem penatalayanan gereja
pertama kali muncul dalam Tata Gereja di Jemaat Reformasi/Protestan Calvinis di
Paris pada tahun 1559. Jadi, istilah “presbiterial sinodal” bukanlah istilah
yang diperkenalkan oleh Johanes Calvin sendiri, melainkan diperkenalkan oleh
para pengikutnya, tetapi di kemudian hari istilah tersebut selalu dikaitkan
dengan Gereja Reformasi beraliran Calvinis. Sistem “presbiterial sinodal”
bertolak dari jemaat setempat dan diatur dari bawah ke atas.
Gereja
Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) adalah gereja keempat yang dimandirikan
pada tanggal 31 Oktober 1948 di lingkungan Gereja Protestan di Indonesia (GPI,
yang dulu bernama De Protestansche Kerk
in Nederlandch-Indie, yang dikenal dengan sebutan Indische Kerk). Jadi, GPIB adalah gereja yang berlatar belakang
historis Indische Kerk dan gereja dalam konteks Indonesia. Sebagai gereja yang
berlatar belakang Indische Kerk, maka GPIB adalah gereja yang berlatar belakang
Calvinis. Dan sebagai gereja dalam konteks Indonesia, di mana sila yang keempat
dari Pancasila dasar negara ialah “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan dan perwakilan”, maka GPIB sudah seharusnya adalah gereja
yang dalam pengambilan keputusan selalu mendahulukan musyawarah dan mufakat. Namun
demikian, selama masa kolonial Belanda Indische Kerk tidak secara konsekuen ditata
menurut tradisi Calvinis, tetapi ia ditata dengan lebih memperhatikan kepentingan
Pemerintah Kolonial Belanda, ketimbang memperhatikan kepentingan Gereja. Mengapa
pada zaman sebelum kemerdekaan, kepentingan Gereja kurang diperhatikan? Sebab
selama masa VOC dan masa Pemerintahan Kolonial Belanda, baik VOC maupun
Pemerintah Kolonial Belanda memperlakukan Gereja hampir-hampir hanya bagian dari sistem
pemerintahan sebagai “biro pelayanan kerohanian bagi orang-orang Belanda yang
beragama kristen”. Karena semua anggaran gereja berasal dari anggaran
pemerintah kolonial Belanda, maka Gereja/Jemaat kurang diperhatikan. Demi
kepentingan ekonomi, gereja dilarang untuk memberitakan Injil kepada masyarakat
yang beragama lain untuk menghindari terjadinya kekacauan, kerusuhan dan perang
yang untuk memulihkannya akan membutuhkan banyak biaya. Pada awalnya GPIB masih
mengikuti struktur organisatoris sesuai dengan struktur organisatoris dari
Gereja-gereja Calvinis, yaitu: Majelis Sinode, Klasis, dan Jemaat.
Peristiwa
yang menentukan perkembangan sistem presbiterial sinodal di GPIB hingga saat
ini ialah ketetapan PS IX GPIB 1966 di Jakarta tentang “bentuk pelayanan di GPIB
adalah Presbiterial Sinodal” dan ketetapan PS X GPIB 1970 di Bandungan tentang
“Pembangunan Jemaat Misioner”. Dalam PSI GPIB 1972 di Jakarta GPIB menetapkan Tata
Gereja GPIB 1972, yang di dalamnya ada 2 (dua) hal yang penting yang kaitannya
dengan sistem presbiterial sinodal di GPIB, yaitu:
(1). Presbiteriasl Sinodal masuk dalam Tata Gereja
GPIB yang tertera dalam Penjelasan Umum Tata Gereja 1972 butir 3.
“Berdasarkan
hal yang tersebut pada 2 di atas, berpedoman pada hasil penelitian sehubungaan
dengan perkembangan gereja sepanjang sejarah, bentuk pelayanan yang tepat dalam
GPIB adalah: Presbiterial – Sinodal, bentuk mana hendaknya nyata dalam Tata
Gereja, Ordinansi-ordinansi, dan Peraturan-peraturan Pelaksanaan GPIB” (Penjelasan
Umum Tata Gereja 1972 butir 3).
(2). Sistem Klasis ditiadakan dan diganti dengan
Musyawarah Wilayah Pelayanan yang tertera dalam Tata Gereja 1972, Bab III,
Pasal 10, ayat 2.
“Beberapa
jemaat yang berdekatan dapat mengadakan Musyawarah Pelayanan untuk
memusyawarahkan hal-hal yang bersamaan.”
Dengan
masuknya asas Presbiterial Sinodal dalam Tata Gereja GPIB, dan dihilangkannya sistem
Klasis yang sifatnya struktural lalu diganti dengan sistem MUPEL yang sifatnya
fungsional, maka GPIB semakin menegaskan pemahaman dirinya sebagai salah satu
Gereja Calvinis yang khas GPIB. Dengan diperkenalkannya Gereja/Jemaat Misioner,
maka GPIB memberi peluang bagi pemberdayaan warga jemaat dalam pelaksanan misi
gereja/jemaat, walaupun hal itu tidak secara eksplisit tertulis di dalam Tata
Gereja GPIB 1972. Baik Tata Gereja GPIB 1982 maupun Tata Gereja GPIB 1996
peranan Warga Jemaat dalam tugas panggilan dan pengutusan Gereja secara
ekplisit diakomodasi lewat adanya Pertemuan Warga Sidi Jemaat (PWSJ). Namun
PWSJ hanya berfungsi sebatas wadah penyaluran aspirasi warga jemaat, bukan
wadah pengambilan keputusan.
Tata gereja GPIB sebelum Tata Gereja
GPIB 1972 sangat menekankan peranan para pendeta, sehingga GPIB disebut sebagai
”gereja/jemaat dari para pendeta”. Sedangkan Tata Gereja GPIB sesudah Tata
Gereja 1972 s/d Tata Gereja 1996 sangat menekankan peranan presbiter/majelis
jemaat, sehingga GPIB disebut sebagai “gereja/jemaat dari para presbiter/majelis
jemaat”, karena dalam sistem presbiterial sinodal GPIB disebutkan bahwa para
presbiter (pendeta, penatua, dan diaken) yang merancang, menetapkan,
melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan gereja/jemaat.
Rupanya penegasan GPIB untuk menerima asas
Presbiterial Sinodal yang tanpa penjelasan itu, sebagaimana terdapat di dalam
Tata Gereja GPIB 1972, telah menimbulkan bermacam pemahaman di kalangan para
presbiter GPIB yang telah mengganggu pelayanan. Oleh sebab itu, dalam PS XIII
1982 di Pandaan, GPIB menetapkan TG GPIB 1982, yang di dalam Tata Dasar-nya terdapat
“Pemahaman Tentang Presbiterial Sinodal”.
Pemahaman tentang asas Presbiterial Sinodal ini dianggap sangat mendasar bagi
GPIB sehingga ia tetap dipertahankan tanpa perubahan di dalam Tata Gereja GPIB
1996 maupun di dalam Tata Gereja GPIB 2010 yang berlaku saat ini. Oleh sebab
itu, “Pemahaman Tentang Presbiterial
Sinodal” yang ada di dalam Tata
Dasar itulah perlu dibaca, diketahui, dipahami, dan dipraktekkan di dalam
“berkiprah”di GPIB.
II.
DASAR
TEOLOGIS SISTEM PRESBITERIAL SINODAL GPIB
Pemahaman Iman (PI) GPIB berfungsi sebagai
landasan dan “payung” teologi bagi GPIB. PI GPIB terdiri dari 7 (tujuh) pokok,
dan pokok yang kedua adalah tentang GEREJA (yang terdiri pula dari 9 subpokok).
Dasar teologis sistem presbiterial GPIB adalah Pemahaman Iman GPIB tentang
“Gereja”, khususnya subpokok 4 dan 9, yaitu:
GEREJA
Kami mengaku,
4.
Bahwa Yesus Kristus
adalah Kepala Gereja dan Gereja sebagai tubuh-Nya yang rapi tersusun , dan
segala sesuatu di dalamnya harus diselenggarakan secara tertib dan teratur .
9.
Bahwa Tuhan yang
memanggil dan menetapkan para pelayan-Nya sebagai Presbiter yang berjalan
bersama-sama untuk memperlengkapi warga GPIB yang missioner sebagai manusia
yang utuh.
Lewat kedua
subpokok tentang Gereja di dalam PI GPIB
tersebut, maka GPIB mengaku bahwa Yesus Kristus adalah Kepala Gereja, juga Dia
adalah Kepala GPIB. Oleh sebab itu, sistem pemerintahan di gereja – juga di GPIB
– adalah kristokrasi, bukan demokrasi.
Apakah
makna KRISTOKRASI itu dalam
hubungannya dengan penatalayanan gereja? Dalam rangka penatalayanan gereja
Kristokrasi memiliki pengertian bahwa seluruh azas dan bentuk pemerintahan Gereja harus
berdasarkan karya Kristus Yesus yang memperlihatkan kedaulatan Allah atas
ciptaan-Nya.
Seluruh poses pengadaan jabatan Gereja harus bersumber
dari kekuasaan Kristus Yesus atas dan di dalam Gereja-Nya. Rasul Yohanes
menuliskan ucapan Yesus : ”Akulah yang memilih kamu” (Yoh.15:16), dan Paulus membenarkannya melalui Surat kepada Jemaat
di Efesus: ”Ialah yang memberikan...”(Efs.4:11).
Oleh karena itu, seluruh Pejabat Gereja harus menjunjung tinggi karunia
Allah dan memberdayakannya, dalam arti memfungsikan secara optimal, jabatan itu
untuk melayani-bersaksi dalam persekutuan menuju dunia, dalam arti
inilah, maka bagi GPIB, perwujudan kristokrasi yang paling sesuai dengan
Pemahaman Iman GPIB adalah sistem presbiterial sinodal sebagai terdapat di
dalam Tata Gereja GPIB itu sendiri.
III. PEMAHAMAN TENTANG PRESBITERIAL SINODAL GPIB
A. (Naskah)
Pemahaman Tentang Presbiterial Sinodal (Lih. TG GPIB 2010: hal. 8-12).
1.
Gereja
Gereja adalah Tubuh Kristus dan Kristus
sendiri adalah Kepalanya. Oleh karena itu
Kuasa yang ada dalam Gereja adalah Kuasa Kristus. Kekuasaan itu mutlak atas
Gereja melalui firman-Nya, dan tidak dapat diwakilkan kepada seseorang atau
beberapa orang, karena Kristus tetap bekerja. Pemimpin-pemimpin yang
dipanggil-Nya adalah orang-orang yang hanya melayani Kristus dengan misi yang
ditugaskan kepadanya masing-masing. Karena hanya ada satu, maka gerejapun satu
adanya. Yesus yang memimpin Ekklesia itu mengutusnya dengan satu misi (Matius
16:18).
Gereja merupakan kesatuan yang
sesungguhnya sejak semula sudah ada dalam diri Yesus Kristus dan bukan kesatuan
yang dibentuk atau terjadi oleh kehendak banyak orang. Ini berarti hanya ada
satu Gereja yang Kudus dan Am. Dengan demikian kehadiran Gereja itu tampak
dalam kehidupan gereja-gereja di berbagai tempat, negara, bangsa dan suku, dan
kemudian melembaga sebagai organisasi gerejawi dalam masyarakat (berbentuk
badan hukum). Penampakan itu lebih jelas dalam kehidupan jemaat-jemaat, dimana
Jemaat –jemat tersebut harus dipahami sebagai bagian yang utuh dari GPIB dan
sekaligus merupakan wujud dari gereja yang kudus dan am itu.
2.
Hubungan antara Gereja dan Jemaat.
Dari pengertian di atas terlihat adanya
hubungan timbal-balik antara Jemaat dan Gereja. Hubungan ini ditandai dengan
satu garis dinamis yang tidak dapat dihalangi oleh apa dan siapapun juga.
Hubungan ini sekaligus merupakan gerakan yang hidup untuk melaksanakan misi
itu.
Ada beberapa prinsip yang dipakai oleh
gereja dari masa ke masa untuk menggambarkan hubungan dinamis itu.
Dalam prakteknya kita sebut
sistem-sistem pemerintahan gereja:
a.
Sistem dan bentuk yang pertama adalah
Papal (bahasa latin: Papa= bapa= Paus).
Beberapa ciri khas dari sistem ini adalah:
1).
Adanya paham, tongkat kepemimpinan dan
kuasa langsung yang diterima dari Kristus. Paus menerima warisan itu sebagai
pengganti Kristus.
2).
Yang bertindak dalam gereja adalah
imam-imam yang jenjang kepemimpinannya diatur/disusun menurut anak-tangga.
3).
Paus memiliki kuasa mutlak dan jemaat
hanya menerima tindakannya itu.
Hubungan timbal balik terhenti karena garis
linier (komando) dari atas ke bawah yang ketat.
b.
Sistem dan bentuk yang kedua adalah
Episkopal (bahasa Yunani: Penilik, Penunggu, Gembala)
Cirinya antara lain: Setiap Gembala disebut
Uskup (akhirnya sekarang jarang dipakai dan kemudian dikenakan kepada pemimpin
Gereja saja – Superintenden). Para Uskup/Gembala memegang kepemimpinan Gereja
dan mewariskan kuasa itu secara rasuli dan berkesinambungan. Umumnya para
Uskup/Gembala memegang kuasa di wilayah/ Provinsi/Jemaatnya di bawah pimpinan
Gereja yang disebut Superintenden. Dalam sistem ini, bentuk hirarkis masih
tampak tetapi garis linier lemah.
c.
Sistem dan bentuk yang ketiga adalah
Kongregasional (bahasa Inggris: Congregation = jemaat lokal).
Cirinya antara
lain: memberi tekanan (=kedaulatan) kepada eksistensi jemaat-jemaat yang
independen (=berdiri sendiri). Bila jemaat mengusahakan kebersamaan dengan
jemaat-jemaat lain sehingga terbentuk satu permusyawaratan, maka hal itu
terjadi atas kerelaan dan tidak boleh mengurangi kedaulatan masing-masing
jemaat. Kebersamaan jemaat-jemaat dapat terjadi tanpa ikatan ketat, yang diurus
oleh suatu Sekretariat Bersama.
d.
Sistem dan bentuk keempat adalah
Presbiterial Sinodal (bahasa Yunani: Presbiter = tua-tua = Penatua; Sun =
bersama; hodos = jalan).
Cirinya antara lain: adalah memberikan
tekanan kepada peranan para presbiter yang terpanggil untuk melayani dan
memimpin gereja. Untuk menentukan arah – kebijaksanaan gereja, kita
melakukannya bersama-sama melalui Majelis Jemaat, Persidangan Sinode dan
Majelis Sinode. Kebersamaan itu lebih praktis, nampak dalam Kepemimpinan Gereja
Jemaat sehari-hari. Sistem ini ingin menghidupkan hubungan timbal balik antara
Jemaat (Majelis Jemaat) dengan pimpinan Gereja (Majelis Sinode). Gereja bukan
federasi dari jemaat-jemaat, tetapi keduanya mempunyai hubungan yang dinamis,
kaitan yang hidup dan kepentingan timbal-balik untuk melaksanakan misi Kristus.
3.
Unsur-unsur penting dari Presbiterial
Sinodal
Sistem ini sesungguhnya berasal dari
tradisi Calvinis yang sangat mewarnai kehidupan GPIB.
Ada beberapa hal yang sangat menonjol
sebagai berikut :
a.
Peranan para Presbiter yang terpanggil
untuk melayani dan memimpin Gereja.
1).
Para Presbiter mendapat peranan penting.
Dalam Gereja mula-mula, setelah para
rasul tidak ada, maka para Penatua (Presbiter) memegang peranan penting dalam
mengelola kehidupan gereja.
Jabatan Diaken telah terbentuk segera
setelah Pentakosta dan mula-mula sangat berperan bersama para rasul. Dalam
perjalanan GPIB, pengertian presbiter telah mengalami tekanan yang sangat
berarti di mana yang dimaksud adalah Diaken, Penatua, Pendeta dan Penginjil
untuk daerah-daerah Pekabaran Injil / Pelkes. Namun, jabatan Penginjil tidak
diadakan lagi, sejak tahun 1992, karena para Penginjil telah dialihkan menjadi
Pendeta.
Hal ini tentu bukan saja menyangkut
pergeseran pengertian tetapi juga ingin memberikan bobot dan peranan yang lebih
luas untuk mengelola kehidupan gereja, sebab pada dasarnya tiap jabatan
tersebut mempunyai hubungan erat satu dengan yang lain untuk menjabarkan
pelayanan gereja.
2).
Teologi Reformasi menegaskan bahwa
panggilan dan pengutusan itu berasal dari dua pihak.
Yang pertama : panggilan batin, oleh kuasa Roh Kudus dalam diri seseorang.
Panggilan batin ini menyangkut kesadaran dan kemampuan seseorang untuk
melaksanakan tugas dengan kuasa Roh Kudus.
Yang Kedua : panggilan lahir, yaitu seseorang dipanggil dan diutus oleh gereja.
Melalui pemilihan oleh warga gereja, Roh Kudus memanggil dan mengurapi seseorang untuk melayani dan memimpin
jemaat-Nya.
3).
Panggilan lahir inilah yang dilaksanakan
oleh Gereja (GPIB) dewasa ini melalui Pemilihan Diaken dan Penatua. Bagi
Pendeta yang dipanggil oleh gereja harus melalui pendidikan Teologi dan
vikariat.
Melalui proses pemilihan, pendidikan,
pembinaan serta pengurapan seseorang diyakinkan akan panggilan batinnya.
Karena itu tidak dapat diartikan bahwa
Presbiter, khususnya Diaken dan Penatua, itu menjadi wakil jemaat karena
terpilih oleh jemaat hingga ia harus bertanggung jawab (secara organisatoris)
kembali kepada jemaat. Secara moral ia terikat pada jemaat karena kepercayaan
dan hubungan penggembalan.
Para Presbiter terikat dalam Majelis
Jemaat dan bersama-sama melayani dan memimpin jemaat. Kepada badan itu pula
para Presbiter mempertanggung jawabkan pelayanan dan kepemimpinannya (secara
organisatoris). Demikian selanjutnya pada ruang lingkup berikutnya yaitu
Sinodal (Gereja).
b.
Pengelolaan secara bersama dan sehidup
sepelayanan
Para Presbiter dipanggil dan diutus untuk
melayani dan memimpin gereja secara bersama. Kebersamaan itu bukan atas dasar
suka rela atau terpaksa, tetapi karena misi Kristus itu yang satu dan
mempersatukan Presbiter.
Kebersamaan itu harus terwujud dalam
tindakan, yaitu : berjalan, bergumul, bermusyawarah, bekerja dan berbuat serta
mempunyai pengalaman bersama dalam mengisi persekutuan untuk melayani dan
bersaksi. Tegasnya, dengan mengakui kebersamaan itu, ikrar untuk
sehidup-sepelayanan dalam gereja dihayati.
Perjalanan kebersamaan itu nampak melalui
Persidangan-persidangan Sinode yang dihadiri oleh para presbiter dari
jemaat-jemaat. Mereka hadir dalam persidangan itu bukan sebagai wakil jemaat,
tetapi sebagai presbiter gereja yang menentukan arah kebijaksanaan pelayanan
dan kepemimpinan di bawah terang Firman Tuhan (contoh, dipancarkan melalui Tema
dan Sub-Tema). Dengan Tema dan Sub-Tema itu perjalanan gereja dicegah dari
kesimpang-siuran pemahaman maupun tindakan yang merugikan pelaksanaan panggilan
gereja.
Anggota-anggota dari badan itu dipilih dari
antara para presbiter yang adalah peserta Persidangan Sinode itu. Sesuai
prinsip kebersamaan di mana para presbiter bertanggung jawab kepada lembaga
kebersamaan di lingkup Jemaat (Majelis Jemaat) yang bertindak sebagai Pimpinan
jemaat, maka kepada Majelis Sinode (lembaga yang secara permanen menggalang
kebersamaan) itulah Majelis-Majelis Jemaat yang mempertanggung jawabkan
pelayanan dan kepemimpinannya.
Selanjutnya Majelis Sinode itu sendiri
mempertanggung jawabkan pelayanan dan kepemimpinannya kepada Persidangan Sinode
yang dihadiri oleh presbiter dari jemaat-jemaat.
Sehubungan dengan itu maka pengelolaan
secara bersama itu harus selalu terkendali melalui persidangan-persidangan presbiter (lingkup Jemaat dan sinodal).
Arah program yang jelas harus ditetapkan melalui persidangan-persidangan untuk
diberlakukan bagi seluruh jajaran-pelayanan gereja.
c.
Hubungan yang dinamis antara Majelis
Jemaat dan Majelis Sinode
Dalam kerangka penjelasan di atas maka
hubungan Majelis Jemaat dan Majelis Sinode adalah hubungan yang hidup. Yang
terlihat disini bukanlah garis linier atau komando, atasan kepada bawahan,
tetapi hubungan timbal balik dimana misi gereja berlangsung dan berkembang.
Jemaat disebut sebagai “jantung” gereja
yang berdenyut dan bergerak sedemikian rupa sehingga “darah keselamatan” itu
dipancarkan. Lembaga Sinode disebut sebagai “otak” yang berfungsi mengatur semua
bagian bergerak bersama dan harmonis, sehingga tubuh gereja berfungsi dengan
baik.
Dengan demikian kebersamaan memegang
peranan penting dimana kepentingan sendiri-sendiri selalu ditaruh dalam
kerangka kebersamaan. Kepentingan persekutuan harus senantiasa mewarnai
kepentingan perorangan.
B. Beberapa Catatan penting tentang Sistem
Presbiterial yang khas GPIB
1. “Pemahaman
Tentang Presbiterial Sinodal” tersebut di atas masuk di dalam Pendahuluan Tata
Dasar GPIB 2010, juga dalam Tata Dasar GPIB 1982 dan Tata Dasar GPIB 1996.
Apakah konsekuensi teoritisnya dan praktisnya hal tersebut? Baik secara
teoritis maupun secara praktis, disadari atau tidak, maka paling tidak hal itu
mempunyai 2 (dua) konsekuensi, yaitu:
a. Seluruh
jajaran di GPIB harus senantiasa memahami dan melaksanakan semua Bab, Pasal,
dan Ayat dalam Tata Gereja GPIB dalam semangat presbiterial sinodal; dan
b. GPIB
hendak menegaskan bahwa di seluruh jajarannya GPIB harus melaksanakan tugas
panggilan dan pengutusannya di semua baik ditingkat sinodal maupun di tingkat
lokal/jemaat, dan juga di tingkat wilayah, dengan semangat “presbiterial
sinodal” yang khas GPIB, bukan dengan semangat episkopal atau semangat
kongregasional.
2. Kekhasan
sistem presbiterial sinodal GPIB nyata dalam hal-hal berikut:
a. Adanya
hubungan yang hidup dan dinamis antara Jemaat (Majelis Jemaat) dan Gereja (Majelis
Sinode) yang tidak dapat dihalangi oleh apa dan siapapun juga. Sekalipun ada
MUPEL, tetapi dalam sistem presbiterial sinodal yang khas GPIB, Mupel tidak struktural.
Jemaat disebut sebagai “jantung” gereja yang berdenyut dan bergerak sedemikian
rupa sehingga “darah keselamatan” itu dipancarkan. Lembaga sinodal disebut
sebagai “otak” yang berfungsi mengatur semua bagian bergerak bersama dan
harmonis, sehingga tubuh gereja berfungsi dengan baik.
b. Sistem
presbiterial sinodal GPIB, bukanlah sistem Papalisme, Episkopalisme, dan
Kongreasionalisme, melainkan sistem penatalayanan dengan ciri-ciri sebagai
berikut:
(1) Peranan
para presbiter yang terpanggil untuk melayani dan memimpin gereja.
Di
dalam sistem ini para presbiter mendapat peranan penting. Seseorang menjadi
presbiter (pendeta, penatua, dan diaken) karena mereka dipanggil oleh Tuhan,
dan seseorang meyakini panggilan Tuhan ini melalui panggilan lahir dan panggilan
batin.
(2) Pengelolaan
secara bersama dan sehidup sepelayanan.
(3) Hubungan
yang dinamis antara Majelis Jemaat dan Majelis Sinode.
3. GPIB
menganut sistem presbiterial sinodal yang khas GPIB tersebut, karena sistem
inilah yang diyakini sebagai sistem yang paling sesuai dengan keberadaan GPIB
sebagai gereja yang berlatar-belakang Gereja Protestan beraliran Calvinis dan
gereja di dalam konteks Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
IV.
SISTEM
PRESBITERIAL SINODAL DALAM TATA DASAR GPIB 2010.
Di dalam batang tubuh Tata Dasar GPIB,
“sistem presbiterial sinodal” terdapat di dalam Bab IV (Penatalayanan Gereja),
yang terdiri dari 4 Pasal (Pasal 11: Sistem Penatalayanan, terdiri dari 3 ayat;
Pasal 12: Presbiter, terdiri dari 3 ayat; Pasal 13: Sidang Presbiter, terdiri
dari 2 ayat; dan Pasal 14: Musyawarah Pelayanan, terdiri dari 3 ayat).
Beberapa hal ditegaskan di dalam Bab IV
Tata Dasar ini, yaitu:
1.
Dalam sistem presbiterial yang khas
GPIB itu, bukan hanya peranan presbiter itu penting, tetapi juga pemberdayaan
warga jemaat itu penting (Pasal 11, ayat 3). Mengapa? Sebab, tanggungjawab
panggilan dan pengutusan gereja itu adalah tanggungjawab seluruh warga jemaat.
Para presbiter itu tidak dapat berbuat apa-apa tanpa keterlibatan warga jemaat
di dalam pelayanan. Jadi, ada pergeseran yang signifikan di dalam sistem
presbiterial sinodal GPIB sebagai tertuang dalam Tata Dasar (Bab IV, Pasal 11,
Ayat 3) yang memberi peranan warga dalam pelaksanaan panggilan dan pengutusan
gereja.
2. Para presbiter (pendeta, penatua, dan
diaken) memperlengkapi warga jemaat untuk melaksanakan panggilan dan pengutusannya,
dan mereka melaksanakan panggilan dan pengutusan-Nya secara kolekif kolegial
(Pasa1 12, ayat 1, 2, dan 3).
3.
Wadah pengambilan keputusan tentang
pelaksanaan panggilan dan pengutusan Gereja adalah Sidang Presbiter yang
terdiri dari: (a) Persidangan Sinode (PS, PSI, dan PST); (b) Sidang Majelis
Sinode (SMS); dan (c) Sidang Majelis Jemaat (SMJ).
(Memang di GPIB ada Pelaksana Harian
Majelis Jemaat [PHMJ] dan Rapat PHMJ, namun harus ditegaskan bahwa PHMJ hanya
dapat mengambil keputusan dalam Rapat PHMJ berdasarkan keputusan Sidang
Presbiter, baik di lingkup sinodal maupun di lingkup jemaat. Jika PHMJ harus
mengambil suatu keputusan yang mendesak, maka paling tidak PHMJ tidak boleh
mengambil keputusan dan kebijakan yang bertentangan dan bertolak belakang
dengan Tata Gereja. Mengapa? Sebab PHMJ adalah pelaksana harian Majelis Jemaat,
bukan pimpinan dari Majelis Jemaat. Hal ini perlu ditegaskan agar seluruh
presbiter [pendeta, penatua, dan diaken] menyadari bahwa PHMJ itu tidak dapat
berbuat apa-apa terlepas dari apa yang sudah diputuskan dalam Sidang Presbiter
baik di lingkup sinodal maupun di lingkup jemaat. Melaksanakan program kegiatan
dan anggaran yang belum ditetapkan dalam Sidang Presbiter, misalnya, tidak
sesuai dengan semangat presbiterial sinodal yang dianut oleh GPIB.)
4. Musyawarah
pelayanan (MUPEL), sebagai “jembatan dinamis” antara MS dan MJ, dipahami oleh
GPIB sebagai bagian dari penatalayanan gereja. Jadi, MUPEL tidak sama dengan
Klasis yang struktural itu, karena itu, program MUPEL adalah program tertentu
dari Jemaat-Jemaat yang diserahkan kepada MUPEL untuk dilaksanakan bersama-sama
di wilayah itu dan program sinodal yang diteruskan oleh MS GPIB untuk dilaksanakan
di wilayah itu.
V. PENUTUP
GPIB
meyakini bahwa sistem presbiterial sinodal GPIB adalah salah satu sistem
penatalayanan yang baik, bahkan bagi GPIB merupakan sistem yang terbaik. Namun
demikian, sebaik apapun suatu sistem penatalayanan dari suatu Gereja, pada
akhirnya keberhasilan penatalayanan Gereja itu bukanlah ditentukan oleh sistem
yang dianutnya, melainkan ditentukan oleh para presbiternya. Sebuah sistem yang
baik dijalankan oleh orang jahat, maka sistem itu cenderung akan menjadi jahat,
sedangkan sebuah sistem yang jahat sekalipun dijalankan oleh orang baik, maka
sistem itu akan cenderung menjadi baik.
Sebuah
sistem itu perlu, tetapi jauh lebih penting dari pada suatu sistem ialah
orang-orang, dalam konteks GPIB adalah para presbiter. Jika demikian halnya,
apakah yang perlu dipahami oleh seluruh presbiter GPIB? Sistem prebiterial
sinodal GPIB menekankan kebersamaan dalam melaksanakan panggilan dan pengutusan
gereja, dan hal itu akan berhasil jika para presbiter bersama melayani dengan hati,
yaitu hati yang dipersembahkan kepada Tuhan yang memanggil dan mengutusnya
untuk melayani di dalam Gereja-Nya, dan dengan mengingat sabda Yesus: “Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikut
Aku dan di mana Aku berada, di situ pun pelayan-Ku akan berada. Barangsiapa
melayani Aku, ia akan dihormati Bapa” (Yoh 12:26).
oooo000-p-h-s-000oooo