Diakui bahwa kehidupan bersama, khususnya dalam persekutuan Jemaat tidak luput dari berbagai persoalan/masalah. Mulai dari persoalan yang disebabkan oleh hal yang remeh sampai dengan masalah prinsip yang berpotensi menimbulkan perpecahan dan kemerosotan iman.
Dalam kehidupan Jemaat di Galatia Paulus melihat ada persoalan prinsip atau sangat mendasar. Menurut Paulus hal ini perlu segera ditangani agar tidak berlarut-larut dan menimbulkan kemerosotan iman bagi orang-orang yang sudah mengenal Kristus. Persoalannya adalah adanya pertanyaan-pertanyaan yang muncul, yaitu : Pertama, apakah iman kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat merupakan satu-satunya syarat untuk menerima keselamatan? Kedua, apakah ketaatan terhadap aturan dan ketentuan-ketentuan Yahudi tertentu dalam Perjanjian Lama diperlukan untuk memperoleh keselamatan di dalam Kristus? Sebab memang dalam kenyataannya ada beberapa guru Yahudi yang memaksakan beberapa ketentuan dalam hukum Taurat, seperti sunat sebagai syarat untuk diterima di dalam Gereja dan diselamatkan. Paulus sebagai seorang rasul yang juga adalah pemimpin umat, berupaya dengan cermat dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah ini. Sebagai seorang pemimpin Paulus melihat bahwa ia harus mengambil langkah-langkah yang tepat dalam menyelesaikan masalah prinsip ini, secara efektif dan membawa suatu kebaikan dalam kehidupan persekutuan.
Sebelumnya kita perlu memahami latar belakang pernyataan Paulus pada ayat 1. Hal itu tidak lepas dari klaim bahwa Paulus tidak memiliki wibawa rasuli. Pandangan ini sekaligus untuk melemahkan pengaruh Paulus dalam jemaat. Maka, pertama-tama Paulus menuliskan bahwa dia adalah seorang rasul. Paulus dengan berani menuliskan bahwa kerasulannya itu adalah bukan karena manusia dan bukan juga diangkat oleh seorang manusia untuk menjadi rasul. Tetapi kerasulannya itu karena Yesus Kristus, karen dia mempercayai dan mengakui kematian dan kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati. Ini berarti pesan yang Paulus sampaikan pun benar-benar merupakan kehendak Allah di dalam Yesus Kristus atau memiliki otoritas Ilahi. Paulus tidak sedang bermain-main dengan kerasulannya, dia malah sedang membawa dirinya ke dalam tanggungjawab yang besar. Dia berkata bahwa ”bukan manusia yang mengangkat aku menjadi rasul tapi Tuhan dan pengorbanan serta kebangkitan Yesus Kristus”. Dia tidak menyandarkan hidupnya kepada otoritas manusia tetapi Allah sendiri. Paulus bertanggungjawab kepada Allah sepenuhnya, yang memanggil dan mengangkat dia menjadi rasul.
Selanjutnya, sebagai rasul yang mendirikan jemaat-jemaat (bersama saudara-saudara seiman lainnya), Paulus menyapa jemaat Galatia dengan salam yang menegaskan bagaimana kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah di dalam Yesus Kristus senantiasa nyata di dalam kehidupan jemaat (ayat 2-3). Maka secara khusus Paulus mengemukakan seruan dan harapannya agar mereka menunjukkan komitmen dan kesetiaan mereka terhadap berita injil yang telah disampaikan. Ia menyinggung tanggungjawab terhadap karya Allah dalam Kristus (ayat 1) maupun injil, yang telah diwartakan Paulus kepada mereka. Paulus menegaskan kembali pada mereka, bahwa oleh kematian Kristus orang benar akan hidup oleh iman dan ia menemukan Injil bahwa Kristus sebagai orang benar telah mati dan hidup menggantikan orang berdosa supaya orang berdosa hidup oleh iman (ayat 4). Inilah yang diharapkan senantiasa untuk diyakini dan dipegang teguh oleh Jemaat.
Dengan demikian kita dapat memahami berdasarkan bacaan ini, bagaimana sikap seorang pemimpin dalam menghadapi suatun persoalan yang muncul. Tentu dipahami bahwa kemampuan seorang dalam menangani suatu masalah sangat ditentukan oleh otoritas atau kewibwaannya di depan umat. Kewibawaan yang sangat mendasar tentu oleh karena spiritualitas atau keyakinan iman yang nyata, yang bukan direkayasa atau karena kedudukannya semata, yang bukan direkayasa atau karena kedudukan semata. Adapun keyakinan/spiritualitas yang nyata karena pimpinan Roh Kudus yang menguasai kehidupan seorang pemimpin sehingga memiliki konsistensi dan intergritas. Kepemimpinan seperti ini diharapkan memiliki pengaruh yang kuat sehingga setiap kebenaran yang hendak ditekankan secara efektif dapat diterima dan menjadi pegangan bagi jemaat.
Kenaikan Yesus Kristus ke surga hendak menjelaskan bahwa Ia kembali naik takhta kemuliaanNya yang telah ditinggalkan ketika diutus ke dunia. Karena itu, Yesus Kristus diakui sebagai Raja di atas segala raja dan Tuhan di atas segala tuan (Timotius 6:). Pesta ini hendaknya dirayakan dengan kemeriahan dan kegembiraan oleh semua orang percaya.
Simbul untuk Kenaikan Yesus Kristus ke surga adalah Mahkota (kuning mas) dan salip (kuning gading) dengan warna dasar putih.
ARTI:
Kemuliaan yang Yesus Kristus terima dengan kenaikanNya ke surga membuat mahkota duri yang diletakan di kepala-Nya ketika Ia menderita dan mati di salip berubah menjadi mahkota kemuliaan. Jadi, penderitaan maupun kematian yang dialami para pengikut-pengikut Kristus di dunia bukanlah tanpa maksud, sebab maksudnya adalah menerima mahkota kemuliaan. Barang siapa yang percaya kepada-Nya dan setia sampai mati, iapun akan mendapatkan mahkota kehidupan itu (bandingkan Filipi 2:19, 11; wahyu 2:10). Simbul ini berganti pada hari Sabtu malam menjelang Hari Minggu Pentakosta.
Minggu paska VII (Minggu I sesudah kenaikan (latin Exaudi=’Dengarlah’ (Mazmur 27:7). Ayat 10 dari Mazmur yang sama, ’Sekalipun ayahku dan ibuku meninggalkan aku, namun Tuhan menyambut aku’, dapat dihubungkan dengan sabda Yesus dalam Yohanes 14:18), Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu’, yaitu sesudah kebangkitan dan kenaikan-Nya.
Setelah menerima surat undangan Majelis Sinode GPIB Nomor 6997 / III – X / MS. XVIII, tanggal 19 Maret 2010 dan membaca lampiran Juklak Pokja LSP BPK GPIB Tahun 2010, pertama sudah barang tentu diucapkan terima kasih diundang hadir dalam acara penting dan strategis ini. Kedua, tentu terbesit harapan besar terhadap GPIB terutama agar BPK tetap exist dalam kancah pelayanan dan kesaksian GPIB itu sendiri, baik dalam aras sinodal, regional mau pun lokal. Ketiga, secara khusus melalui lokakarya ini harapannya, hasil lokakarya ini diterima sebagai bagian yang utuh dari pergumulan GPIB dalam menjawab tantangan pelayanan dan kesaksiannya. Paling tidak secara teknis, hasil lokakarya ini langsung menjadi in – put bagi Jemaat – Jemaat GPIB dalam menggumuli Rancangan Umum sampai ke Rancangan Ketetapan materi Persidangan Sinode XIX GPIB Oktober 2010 mendatang. Dengan ketiga harapan itulah, pokok pikiran ini ditulis sebagai upaya urun rembuk dalam pembahasan materi LSP BPK GPIB tahun 2010 dan tidak ada pretensi lain.
Issue tentang BPK
Sebagai ketua III yang membidangi BPK di Mupel GPIB Bali – NTB, sejak dikeluarkannya materi Randas tentang PKUPPG dan Tata Gereja, serta pembahasan di Jemaat – jemaat, berbagai issue muncul dan berkembang terkait dengan keberadaan GPIB kini dan bagaimana nanti. Barangkali sama dengan issue yang berkembang di wilayah Mupel lainnya, terutama BPK hilang dari percaturan pelayanan GPIB. Ketidakjelasan dalam uraian Randas PKUPPG 2010 tentang pembidangan kegiatan / program dari sepuluh menjadi enam terutama alasan yang melatarbelakangi dikelompokkannya BPK itu dalam Pembinaan dan Pengembangan SDI, membuat issue makin liar apalagi bila dikaitkan dengan alasan pragmatis, BPK itu hanyalah “duri dalam daging” bahkan dikesankan sebagai “anak haram”. Kehadiran BPK pun di vonis tidak proposional lagi dalam pewadahan pelayanan Gereja, karena itu dipinggirkan.
Mungkin masih banyak lagi issue tentang BPK, tetapi tanpa bermaksud menggeneralisier permasalahan, melalui berbagai lontaran issue itu, terlepas dari kebenaran substansialnya, diperoleh kesimpulan terjadi pengkaburan dan pendangkalan persepsi tentang BPK. Barangkali ini muncul sebagai reaksi emosional belaka, who knows ? tetapi tidak salah juga jika ditelusuri lebih dalam, tentang apa sebenarnya idea atau gagasan yang melatarbelakangi BPK dikelompokkan dalam PKUPPG seperti itu. Masalahnya memang tidak ada kejelasan dan ketegasan alasan mengapa jadi seperti itu !
Tentu akan berbeda, jika tertulis dalam konsep PKUPPG itu uraian yang jelas dan tegas tentang semua alasan yang melatarbelakangi mengapa BPK dikelompokkan menjadi bagian dari usaha pelayanan misioner Gereja. Bahkan tentu tidak akan ada dan tidak perlu diada – adakan lokakarya seperti. Dengan demikian harus diterima apa pun isi dari semua pernyataan ( issue ) tentang BPK itu.
Namun sebagai Gereja, tentu sangat – sangat sumir jika hanya itu alasan yang kemudian diangkat untuk membuat lokakarya sebesar ini. Gereja pun tidak baik jika hanya melayani emosionalitas tanpa dasar / alasan logis. Jadi, menurut kami, pada akhirnya memang harus ada solusi jalan tengah untuk mencari titik – temu terhadap pengkaburan keberadaan BPK itu.
Tenggat Waktu
Terlepas dari apa jawaban yang akan dicari dan ditemukan terhadap berbagai issue tentang keberadaan BPK itu, sebaiknya perlu dan wajib diingat, bahwa masalah alokasi waktu untuk pembahasan materi Rancangan Umum Menuju Rancangan Ketetapan dengan mekanisme buttom – up itu, sangat sedikit dan relatif sempit hanya tiga bulan saja, April sampai dengan Juni 2010. Artinya, apa pun hasil yang dilahirkan lewat Lokakarya ini, masih juga harus turun ke semua Jemaat – Jemaat GPIB dan dibahas serta dipahami dengan baik, sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, usulan konkret tentang bagaimana BPK itu nanti nasibnya, harus diterima oleh semua Jemaat – Jemaat GPIB dan dipahami dengan baik oleh para perutusan yang kemudian hadir dalam PS XIX. Jika tidak, maka lokakarya ini ini bukan lagi tidak strategis, tetapi kehilangan momentum yang menentukan nasib BPK itu sendiri. Usulan praktis dan teknisnya adalah, hasil lokakarya ini kemudian dengan cepat didistribusikan ke semua Jemaat dan BP Mupel di masing – masing wilayah membantu mengingatkan hasil lokakarya ini untuk dibahas secermat – cermatnya, agar menjadi in – put yang diteruskan oleh semua Majelis Jemaat kepada Panter PS XIX untuk diterima sebagai bagian yang utuh dari Ranum dan Rantap di PKUPPG dan Tata Gereja GPIB Tahun 2010.
BPK Dalam Randas PKUPPG dan Tata Gereja Tahun 2010
Berdasarkan uraian dalam Randas PKUPPG Tahun 2010, maka pertama – tama harus dicatat bahwa realitas BPK itu disebutkan secara implisit pada bagian Pengantar TAP PS XVIII GPIB Nomor V / PS. XVIII GPIB / 2005, tentang PKUPPG ( hal. 4 – 5 ), dimana Pokok – pokok Program dapat disusun melalui pembindangan program kegiatan, yaitu :
4. Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Insani serta peningkatan Peranan Keluarga ( P.PSDI – PPK ), . . . . dst.
Bab I, pokok uraian tentang Maksud dan Tujuan, khususnya pada item penjelasan sumber daya yang bertumbuh dan berkembang saat ini ( hal. 13 ), perhatikan penjelasan pada butir 5, yakni
Warga Gereja yang ( maksudnya = dengan ) berbagai latar belakang sosial, ekonomi, budaya, suku bangsa, pendidikan, kelompok usia / kategori fungsional dan profesional.
Selanjutnya masih di Bab I pada pokok Hakekat Gereja, uraian pada alinea 5 ( hal. 14 ) ditegaskan tentang :
Setiap warga gereja dipanggil dan diutus oleh Yesus Kristus ke dalam dunia untuk melaksanakan tugas panggilannnya dengan setia ( Wahyu 2 : 10. c ). Untuk itu setiap warga gereja perlu menyadari bahwa kehadiran dan perannya ditengah dan bersama masyarakat sesuai fungsi dan profesinya, sekaligus merupakan tugas panggilannya sebagai pengemban misi Gereja ( Roma 15 : 1 – 8 ).
Sementara di halaman 18, ketika tiba pada Pokok – Pokok Bidang Program – Kegiatan pada Jangka Panjang II, yaitu ;
Butir 1 – 3, dst, . . .
Butir 4, Pembinaan dan Pengembangan SDI serta Peningkatan Peranan Keluarga ( P. PSDI – PPK ), meliputi bidang Pembinaan dan Pengembangan Warga Gereja ( warga jemaat, kategorial dan Presbiter ), Peningkatan Peran Keluarga ( Bapak, Ibu, Pemuda, Teruna dan Anak ), Kelompok Profesional dan Fungsional, pendidikan serta Pengembangan Personalia.
Pada Bab III, Pokok tentang Evaluasi, dalam matriks disebutkan bidang BPK ( hal. 25 ) yakni :
Kekurangannya, belum tersosialisasikan peran fungsi dan mekanisme kerja BPK.
Keberhasilannya, Pelaksanaan pembinaan terarah sesuai kategori.
Di halaman 25 dan 26, atas dasar hasil evaluasi itu tercermin kekuatan GPIB antara lain disebutkan :
dari sudut perangkat pranata Gerejawi, yaitu Pemahaman Iman GPIB, Tata Gereja, Akta Gereja, Tata Ibadah, PKUPPG dan ketetapan – ketetapan Gereja lainnya, serta memiliki wilayah pelayanan yang cukup luas yakni etrsebar di 25 provinsi di kawasan Indonesia Barat, Tengah dan Timur dengan warga gereja yang beraneka ragam latar belakang sosial – ekonomi, budaya dan tingkat pendidikan berdasar pada kategori fungsional dan profesional dari berbagai kelompok usia.
Penegasan tentang kekuatan Gereja itu, kemudian lebih ditegaskan pada uraian tentang analisa SWAT ( hal. 27 ), butir 1. Sementara pada pokok tentang Kelemahan ( hal. 27 ), dari 8 butir yang terurai tidak didapati kaitannya dengan BPK.
Demikian pula dalam uraian di Bab IV menyangkut PKUPPG 2006 – 2026, baik dalam pokok Sasaran ( hal. 31 – 33 ) dan Strategi ( hal 33 – 45 ) tidak didapati secara implisit apa dan bagaimana BPK atau katakanlah Peningkatan Peranan Keluarga itu.
Pada Bab V tentang KUPPG Tahun 2006 – 2011, di uraian tentang Strategi, khususnya Strategi Fungsional ( hal. 38 ), disebutkan pada pokok Persekutuan, item 3 dan 4, yakni :
-Membina persekutuan yang hidup dalam kegiatan berupa unit – unit keluarga, kelompok kategorial fungsional dan lembaga pendidikan serta pembinaan.
-Meningkatkan kualitas ibadah BPK melalui SBA, SBT, SGK dan SBU, dll.
Seterusnya pada Pokok – pokok Program ( hal. 40 ) di bidang Persekutuan, ditegaskan kegiatannya antara lain :
Butir h), Membuat program bidang kategorial yang lebih spesifik.
Butir i), Menyusun kurikulum pembinaan / materi bina untuk Presbite, BPK mau pun warga jemaat.
Demikian juga diuraikan pada pokok Kesaksian ( hal. 41 ), butir e) yakni :
Mengadakan pelatihan bagi pemuda gereja agar dapat melayani anak jalanan, korban narkoba, pengangguran, keluarga buruh, pelacur, rumah singgah.
Bab VII, KUPPG Tahun 2011 – 2016, pada pokok Sasaran di bidang Persekutuan, juga disinggung peran BPK dalam kehadiran secara kuantitaifnya ( hal. 48 alinea 2 ). Demikian selanjutnya pada uraian di bawah pokok Sasaran Pelayanan ( hal. 49 alinea 2 ) dengan uraian sbb :
Gereja harus sadar untuk membuka diri bagi keterpanggilan seluruh warga gereja dari berbagai kategori, fungsi dan profesi, secara kuantitas dan terutama kualitasnya.
Sementara itu pada pokok tentang Penunjang, yakni SDI ( hal. 50 ), pada butir b), disebutkan :
Tersedianya pemimpin gereja yang profesional dan berkualitas, agar mampu memperlengkapi warga gereja kategorial, fungsional dan profesional melaksanakan tugas panggilannya, . . . . dst
Penegasan sebagaimana yang terurai pada Bab V, kembali diulangi pada bab VII di uraian pokok Strategi Fungsional ( hal. 54 ), khususnya pada butir b), c) dan d), yakni :
b.Membina persekutuan umat melalui kelompok pelayanan kategorial ( pelkat ), kelompok fungsional dan kelompok profesional.
c.Meningkatkan kualitas SBA, SBT dan SBU sebagai salah satu bentuk materi untuk membina persekutuan baik kebaktian rumah tangga ( KRT ) mau pun keaktian kategorial.
d.Menerbitkan secara kontinyu SBAH dan SBP untuk meningkatkan ibadah GP.
Di uraian tentang strategi Penunjang, pada pokok SDI ( hal. 57 – 58 ), butir d), juga dijelaskan :
Pembinaan SDI secara terpadu, sistematis, kreatif, etis dan profetis meliputi warga jemaat, pendeta dan guru agama Kristen, Bidang Pelayanan Kategorial, kelompok Profesi, Kelompok Fungsional, . . . . . dst.
Å¡Å¡«Å¡Å¡
Dari uraian tentang BPK dalam Randas PKUPPG 2010, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Bahwa keberadaan BPK dalam pelayanan di GPIB tidak diragukan lagi masih tetap pada posisi bidang yang strategis yang realitasnya masih dibutuhkan / diperlukan.
2. Bahwa ada permasalahan di dalam BPK, sebagaimana diuraikan di atas, yakni kekurangannya belum tersosialisasikan peran fungsi dan mekanisme kerja BPK. Maka hal itu lebih bersifat teknis dan bukan masalah prinsip.
3. Bahwa penggabungan BPK dalam wadah P. PDSI dengan perubahan nama dari BPK, menjadi Peningkatan Peranan Keluarga ( PPK ) hal itu tidak diuraikan lebih jauh tentang alasannya. Kalau pun digunakan pertimbangan yang melatarbelakangi mengapa PKUPPG disusun hanya berdasarkan fungsi gereja ( Pengantar hal. 5 – 6, butir 1, 2, 3 dan 4 plus contoh uraiannya pada alinea kedua hal. 6 ), maka tidak ada korelasi antara bagian penjelasan itu dengan perubahan nama BPK menjadi PPK atau apa alasan substansial terhadap pengelompokkan BPK dalam bidang Keempat Pembinaan itu.
BPK DALAM RANDAS TATA GEREJA GPIB TAHUN 2010
Pada Tata Dasar, Bab III, pasal 15, BPK disebut pada ayat 2 butir a, ( hal. 17 ) dan disebut sebagai bagian dari Unit – unit Misioner dan Unit Misioner itu ( pasal 16 ) dibentuk sebagai badan pelaksana pada tingkat Majelis Sinode dan tingkat Majelis Jemaat ( hal. 18 ).
Selanjutnya pada Peraturan Pokok I tentang Jemaat, BPK kembali ditegaskan keberadaannya pada pasal 12 ayat 2 dengan uraian : Unit – unit Misioner terdiri dari Bidang Pelayanan Kategorial, . . . dst ( hal 27 ). Bagaimana unit – unit misioner itu diatur, dijelaskan akan diatur kemudian dalam peraturan tersendiri ( pasal 12 ayat 4 ). Dengan dasar pasal 12 ayat 4 itulah dalam Peraturan Nomor 3 tentang Unit – unit Misioner ( hal. 65 ), pada pasal 1, ayat 2 butir a) yang dimaksud dengan unit misioner itu, antara lain Bidang Pelayanan Kategorial ( bukan badan ! ). Sedangkan fungsinya diuraikan pada pasal 2, yakni berfungsi membantu Majelis Sinode / Majelis Jemaat dalam merumuskan kebijaksanaan Bidang – bidang kegiatan, menyusun perencanaan kegiatan dan pelaksanaan kegiatan sebagai penjabaran dan pelaksanaan PKUPPG. Tugas dan dan wewenangnya diuraikan pada pasal 3.
Di dalam Peraturan Pokok III tentang Majelis Sinode, pasal 4 dijelaskan kewenangan Majelis Sinode antara lain ; membentuk dan mengangkat personil Unit – unit Misioner Badan Pelaksana dan Badan Pembantu Majelis Sinode ( hal. 38 ). Selanjutnya pada pasal 5 tentang struktur dan Tata Kerja Majelis Sinode, Pelayanan Kategorial berada di bawah koordinasi Ketua II ( hal. 40 ). Kemudian pasal 12, tentang Unit – unit Misioner, ayat 1, butir b) diuraikan lebih rinci yang dimaksudkan dengan Dewan Bidang Pelayanan Kategorial yang tediri dari : PA, PT, GP, PW, PKB, PKLU dengan memori penjelasannya ( hal. 44 ) :
BPK tugasnya merencanakan dan menyusun program, melaksanakan dan mengevaluasinya yang sifatnya adalah menunjang serta membantu Majelis Sinode sesuai dengan tugas yang dipercayakan kepadanya. Catatan : Untuk PW dan PKB mengarah kepada kategori orang tua ( keluarga ).
Lebih teknis tentang BPK disinggung juga pada Peraturan Nomor 6 tentang Perbendaharaan, yakni pada pasal 6, ayat 2, butir b) yang dimaksud dengan persembahan khusus secara sinodal, adalah Persembahan dalam rangka HUT GPIB dan HUT BPK – BPK ( hal. 93 ). Demikian juga pada Peraturan Nomor 9 tentang Struktur dan Tata Kerja Majelis Sinode pasal 1, ayat 2, Pelaksana Keputusan yang terdiri dari : 1). Unit – unit Misioner ( hal. 115 ). Sedangkan keterkaitan BPK dalam Tata Gereja dengan PKUPPG, baru disebutkan pada pasal 3, Pembidangan Kegiatan ( hal. 116 ), dimana pada ayat 4 nya, disebutkan PPSDI dan Peranan Keluarga ( baca = BPK ). Dan karena itu pada pasal 4 Uraian Tugas Majelis Sinode, ayat 3 Ketua II, butir b) hal. 118, tugas khususnya adalah mengkoordinier bidang kegiatan PPSDI dan Peran Keluarga ( baca = BPK ).
Å¡Å¡«Å¡Å¡
Dari penelusuran tentang BPK dalam Tata Gereja GPIB, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. BPK disebut sebagai bagian dari Unit Misioner yang dibentuk sebagai Badan Pelaksana.
2. Peran BPK secara eksplisit diuraikan secara tersendiri dan bukan bagian dari Peningkatan Peran keluarga ( PKUPPG ).
3. Sementara secara implisit, walau tidak disebutkan, BPK dimasukkan sebagai bagian dari pembidangan PPSDI dan PPK yang dikoordinier oleh Ketua II.
KESIMPULANNYA : BPK KE DEPAN SEPERTI APA ?
Bila sekarang kita melihat dengan jernih, jujur serta proporsional sesuai dengan uraian randas PKUPPG dan Tata Gereja GPIB Tahun 2010, maka :
1. Keberadaan BPK masih tetap ada atau exist. Dengan demikian issue apa pun tentang BPK, dapat ditepis ! Artinya, sekali pun kelembagaan BPK berada dalam Unit Misioner tetapi dengan tidak adanya penjelasan lebih jauh tentang apa itu PPK dan masih disebutkannya BPK dalam Tata Gereja, maka itu berarti keberadaannya tetap tidak berubah !
2. Bila melihat ke belakang terkait dengan perjalanan sejarah GPIB, maka keberadaan BPK itu tidak datang dengan tiba – tiba lalu masuk begitu saja dalam aktifitas pelayanan di GPIB. Tentu tidak mungkin merubah sejarah dengan realitas pengakuan akan adanya Hari Ulang Tahun BPK – PA, PT, GP, PW dan PKB. Hal itu dapat dimengerti jika isi Peraturan Nomor 6, tentang Persembahan dari HUT BPK. Dengan demikian, kehadiran BPK adalah sebuah realitas atas dasar fakta sejarah yang tidak boleh dilenyapkan begitu saja.
3. Bahwa PKUPPG menghilangkan BPK dengan mengganti istilah menjadi PPK, namun tidak ada sedikit pun uraian penjelasan tentang apa dan mengapa serta bagaimana PPK itu. Sementara Tata Gereja jelas masih mencantumkan istilah BPK dan hanya ada satu kali disebutkan, pada Peraturan Nomor 9, itu pun terkait dengan masalah teknis pembidangan kegiatan dan bukan penjelasan yang bersifat substansial tentang apa dan mengapa serta bagaimana PPK itu. Dengan demikian, yang sebenarnya terjadi adalah kontrakdisi isi uraian randas PKUPPG yang menghilangkan BPK dengan PPK, sementara randas Tata Gereja lebih eksplisit menyebut BPK.
Dengan tiga alasan argumentatif di atas, maka baiklah diterima dan dipahami bahwa keberadaan BPK SAMA SEKALI TIDAK HILANG LENYAP DITERBANGKAN ANGIN ! Tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan dengan issue sebagaimana disinggung di atas. Namun melalui Lokakarya ini, sebagai langkah antisipasi, maka tidak salah jika Lokakaya ini merumuskan kekuatan BPK itu sebagai bagian pelayanan yang strategis guna mendorong percepatan pencapaian tujuan Misioner GPIB. Kekuatan BPK itu ada pada fungsi kategori yang dimiliki, yakni Bapak, Ibu dan Anak Jika kekuatan inti keluarga ini yang dimaksudkan sebagai PPK nya PKUPPG, maka secara skematis dapat dijelaskan hal sebagai berikut :
Kakek – Nenek
( PKLU )
Peran Misionernya
Bapak
Adalah ;
Ibu
( PKB )
Bersekutu, Melayani
( PW )
Bersaksi
AnaK
( PA, PT, GP )
Secara konseptual, berpikir logisnya ada pada apa peran yang diharapkan dari Bapak, Ibu dan Anak itu dalam konteks kehadirannya di rumah dan di luar rumah ( kantor, sekolah, Gereja, dls ). Tugas Gereja menguatkan fungsi keluarga secara intenal serta memberdayakan perannya secara eksternal sehingga fungsi Bapak, Ibu dan Anak pada gilirannya membentuk karakter misioner berdasarkan pada nilai – nilai Takut akan Tuhan, taat dan setia, disiplin dan kerja keras, dls. Jangan kemudian Gereja malah merubah orientasi pelayanan menambah beban keluarga dalam kehidupan rumah tangganya.
Jika BPK hadir dalam pola pikir seperti ini, maka tugasnya adalah bagaimana menjawab tantangan misionernya dari keluarga itu dan hanya ada dua sasaran, yakni secara internal menguatkan fungsi kebersamaan keluarga dan secara eksternal memberdayakan kekuatan / potensi keluarga itu sesuai fungsinya masing – masing. Tentu dampak yang dihasilkan, adalah persekutuan Gereja itu sendiri yang terus bertumbuh atas dasar kekuatan spiritual, moral dan etika di dalam keluarga yang kemudian membias dalam persektuuan Jemaat serta dalam kehidupan bermasyarakat.
Fungsi kelembagaan BPK pun dengan demikian berorientasi pada penguatan fungsi keluarga itu. Mengurangi beban organisatoris misalnya hanya sebagai pihak pelaksana dan bukan berpikir, melaksanakan dan mengevaluasi sendiri, padahal dia hanyalah Badan Pembantu atau lebih tepat istilahnya Badan Penunjang dari Majelis Jemaat / Majelis Sinode. Hal ini sekaligus sebagai kritik atas praktek pengorganisasian yang salah – kaprah di GPIB. Artinya bagaimana mungkin sebagai Badan Pembantu, tapi kapasitas penugasannya melebihi beban Majelis Jemaat itu sendiri. Sudah begitu selalu menjadi sasaran kemarahan emosional.
Ke depan, BPK bisa lebih exist dan tampil dalam bentukkan yang fleksibel, tetapi memiliki kualitas pelayanan dan kesaksian yang baru. Seperti apa itu barunya ? Ya tugas lokakarya ini melakukannya. Paling tidak, empat usulan konkretnya :
1. Bentukkan strukturnya tetap sebagai Bidang Misioner yang berfungsi sebagai Badan Penunjang Majelis Jemaat / Majelis Sinode. Konkretnya, tetap dalam koordinasi Majelis Jemaat / Majelis Sinode dengan fungsi melaksanakan setiap keputusan Sidang Majelis Jemaat dan Keputusan Persidangan Sinode. Bagaimana itu dilaksanakan, diperlukan Pengurus di tingkat Jemaat untuk menjabarkan setiap keputusan di Jemaat. Pada tingkat Majelis Sinode diperlukan hanya satu Koordinator BPK dengan empat Sekretaris Pelaksana yang menjabarkan setiap keputusan / ketetapan rapat Majelis Sinode GPIB. Koordinator mau pun Sekretaris bertanggung jawab langsung pada Ketua II, baik PHMJ mau pun MS.
2. Program Kerjanya pun hanya satu, yakni penguatan dan pemberdayaan Keluarga, yang kemudian dijabarkan dalam empat kategori keluarga : Bapak, Ibu, Anak dan PKLU. Masing – masing dengan sasaran penguatan dan pemberdayaan fungsi keluarga secara internal dan eksternal. Untuk hal ini maka dibutuhkan pendampingan terutama dari para presbiter dalam fungsi presbiterialnya sekaligus fungsi organisatorisnya selaku Majelis Jemaat untuk mendampingi BPK, misalnya tiap kategori terdapat 4 – 8 orang Presbiter selaku pendamping BPK.
3. Aturan yang mengatur kelembagaan dalam rangka fungsi penguatan dan pemberdayaannya, bersifat umum dan teknis operasionalisasi bagaimana menata fungsi administrasi dan anggaran serta kepemimpinan, tetap menyatu dalam satu aturan di dalam kelembagaan Majelis Jemaat / Majelis Sinode. Tidak perlu ada lagi aturan tersendiri tentang BPK sebagaimana Peraturan Nomor 6 Tahun 1982 tentang BPK. Aturan disusun untuk bagaimana fungsi itu berjalan bukan pada sisi teknis organisatorisnya. Hal ini sekaligus menepis kesan BPK itu seolah Jemaat di dalam Jemaat.
4. Secara teknis terkait mekanisme Lokakarya, saya mengusulkan dalam upaya mencapai tujuan istruksional kelompok kerja
Materi diarahkan pada pokok – pokok :
a. Sasaran Misioner Bidang Pelkat GPIB yang bertitik – tolak dari PKUPPG ( didalamnya berbicara tentang strategi ).
b. Program Kerja BPK Jangka panjang 2011 – 2026 ( dalam tiga tahapan lima – lima tahun ). Kurikulum dan peribadahan masuk dalam kelompok ini sebagai penjabaran dari renstra GPIB di bidang Pelkat.
c. Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk teknis Pengorganisasian BPK. Peraturan khusus tentang BPK tidak diperlukan karena sudah ada dalam Peraturan Nomor 3 tentang Unit – unit Misioner.
Pemikiran yang lebih luas dan dalam tentang bagaimana BPK ke depan, pasti akan lebih efektif jika digumuli oleh lebih banyak orang, bukan hanya satu – dua orang saja yang kemudian mempengaruhi banyak orang, tetapi bagaimana pikiran banyak orang itu menyatu dalam satu visi dan misi yang menghasilkan tindakan aksi yang konkret, itulah harapannya.