Pendahuluan
Apa tujuan dari pernikahan dan keluarga Kristen? Untuk maksud apa, orang
Kristen menikah dan berkeluarga? Apa maksud rencana Allah terhadap hubungan
suami-istri Kristiani? Pertanyaan yang sering kita dengar ini sudah coba
dijawab, baik melalui konseling pranikah, ceramah-ceramah maupun
seminar-seminar. Bahkan hampir setiap buku tentang pernikahan dan keluarga
Kristen selalu dimulai dengan membahas pertanyaan ini. Meskipun demikian selalu
ada saja hal semacam ini ditanyakan. Pertanyaan demikian menunjukkan adanya
keraguan yang tak dapat disingkirkan dari dalam hati banyak orang karena
mungkin realitanya mereka sendiri menjalani kehidupan suami-istri dan keluarga
yang sekali-kali tidak berbeda dari orang-orang yang bukan Kristen. Yaitu
kehidupan pernikahan dan keluarga yang ‘alami’ di mana orang bertemu, saling
mencinta, membuat tekad bersama, meresmikan ikatan mereka, hidup bersama,
bekerja, melahirkan anak, mendidik, membesarkan, dan mempersiapkan mereka untuk
kehidupan yang mandiri dan berbahagia.
Tujuan kehidupan suami-istri dan keluarga ‘yang alami’ yang memang
secara praktis sudah coba dijalani banyak orang, termasuk suami-istri Kristen.
Tidak heran jikalau pergumulan mereka dalam pernikahan dan keluarga mereka yang
‘hampa’ untuk membentuk pernikahan dan membangun keluarga yang bahagia adalah
suatu kesia-siaan jikalu itu semata-mata manifestasi proses alami, tanpa tujuan
seperti yang telah direncanakan dan ditetapkan Allah.
Pernikahan dan keluarga Kristen mempunyai tujuan yang jelas karena
memang untuk maksud itulah Allah menciptakan lembaga pernikahan. Bahkan Allah
menetapkan bahwa lembaga pernikahan dan keluarga menjadi pusat kehidupan
manusia seutuhnya.
Pemahaman Alkitab tentang dasar
dan tujuan pernikahan
1. Kesadaran akan kehendak Tuhan yang menciptakan manusia sebagai pasangan
laki-laki dan perempuan.
Pasangan yang sepadan. “Maka Allah
menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya
dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej. 1:27). TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik,
kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang
sepadan dengan dia." (Kej. 2:18)
Manusia yang diciptakan segambar Allah tentu mempunyai sisi persamaan
tertentu dengan Allah, walaupun dalam tingkat kemuliaannya jauh berbeda. Karena
sifat Allah adalah kasih, maka manusia juga mempunyai kasih. Kasih selalu
membutuhkan partner untuk dikasihi dan mengasihi. Itulah salah satu rencana
Allah menciptakan manusia dengan kehendak bebas. Allah mau berada dalam
hubungan kasih dengan manusia. tetapi
Allah menyadari bahwa manusia juga membutuhkan partner yang sepadan untuk bisa
berada dalam hubungan kasih yang saling melengkapi. Untuk itulah Allah
menciptakan manusia berpasangan. Sepadan maksudnya pasangan yang serasi, seimbang,
sesuai, pantas, dalam hakekat dan dalam hak serta kewajiban. Dalam Kejadian
2:18-25, pasangan yang sepadan ini sebagai kesatuan dan keutuhan yang indah:
·
Penolong yang sepadan, dari tulang rusuk, tulang dari
tulangku,
·
Daging dari dagingku, meninggalkan ayahnya dan ibunya,
·
Bersatu dengan istrinya, keduanya menjadi satu daging,
keduanya telanjang (transparansi dalam komunikasi).
2. Kesadaran akan rencana Allah memberkati pasangan suami-istri
“Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar
Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan
perempuan diciptakan-Nya mereka.
Allah memberkati mereka, lalu
Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak;
penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung
di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."
Allah memberkati lebih dahulu manusia yang disatukan-Nya untuk segala
tugas panggilannya yang harus dijalankan (Kej 1:28). Tetapi hidup yang
sepadan/serasi, kesatuan yang indah ini “hilang” karena manusia menurunkan
derajatnya menjadi hamba dosa (Kej 3:1-15). Hanya oleh Anugerah, dalam
pengorbanan Yesus Kristus, manusia ini dikembalikan kepada citra yang semula,
makhluk yang mulia.
3. Tindakan Allah yang mempersatukan Pasangan suami-istri
“Demikianlah mereka bukan lagi
dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh
diceraikan manusia." (Matius 19:6b)
Allah sendiri yang bertindak mempersatukan suami-istri. Jadi sekalipun
kita sendiri telah memilih teman hidup, menjalin dan memelihara hubungan,
mempersiapkan segala sesuatu untuk pernikahan kita, secara iman kita harus
mengakui bahwa dibalik semua usaha kita sebenarnya Allah yang bertindak.
Hal ini menjadi dasar yang penting dari pernikahan yaitu: membentuk
suatu persekutuan yang mendukung tindakan Allah tersebut. Salah satunya tetap
memelihara keutuhan dan keharmonisan keluarga.
Bagi seorang laki-laki dan seorang perempuan memasuki pernikahan, maka
keduanya menajdi pelaksana prinsip monogami. Satu suami untuk satu istri dan
satu istri untuk satu suami. Inilah pernikahan Kristiani, monogami.
Ditegaskan dalam Injil Matius
19:5,6 bahwa pernikahan Kristen itu tanpa reserve, yang harus disadari
sepenuhnya oleh semua pasangan suami istri Kristen. Pasangan suami-istri ini
harus menjaga kekudusan/kesucian pernikahan seperti dikatakan dalam 1 Korintus
6:15, 16; Ibrani 13:4.
15 Tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah
anggota Kristus? Akan kuambilkah anggota Kristus untuk menyerahkannya kepada
percabulan? Sekali-kali tidak!
16 Atau tidak tahukah kamu, bahwa siapa yang
mengikatkan dirinya pada perempuan cabul, menjadi satu tubuh dengan dia? Sebab,
demikianlah kata nas: "Keduanya akan menjadi satu daging."
Ibrani 13:4.
Hendaklah kamu
semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat
tidur, sebab orang-orang sundal dan pezinah akan dihakimi Allah.
4.
Teladan hubungan Kristus dengan jemaat-Nya
“Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami
adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang
menyelamatkan tubuh”.(Efesus 5:22-23)
Sebagai murid
Kristus, kita semua terpanggil untuk belajar dan meneladani Guru kita.
Tunduknya istri kepada suami tidak pernah boleh dipaksakan, sama seperti jemaat
tidak pernah dipaksakan tunduk oleh Kristus. Jemaat tunduk karena mengalami dan
menyadari keagungan Kasih Kristus yang sudah mengorbankan seluruh diri-Nya.
Demikian juga kasih suami harus meneladani Kasih Kristus yang tidak bersyarat.
Atas dasar itu, maka tujuan keempat dari pernikahan ialah menjadi saksi tentang
Kasih Kristus. (Yoh. 13:35; 1 Yoh 4:12). Kehidupan keluarga Kristen yang
harmonis dan menjadi berkat bagi banyak orang akan merupakan suatu kesaksian
yang sangat berarti bagi setiap orang di sekeliling kita.
Pasangan suami-istri
merupakan pasangan yang tiada duanya, yang dipakai menggambarkan hubungan
Kristus dengan jemaat (Efesus 5:31-33). Demikian juga
posisi suami-istri, suami sebagai kepala keluarga bukanlah yang berlaku
sewenang-wenang, melainkan untuk memelihara, melindungi, dan istri “tunduk”
kepada suami, karena seperti yang disebutkan tadi. (Efesus:22-23)
5.
Dasar Pernikahan Kristen ialah Kasih Allah yang menyempurnakan cinta
kasih manusia
Sejak kejatuhan dalam
dosa, manusia menjadi rusak dan kehilangan kemuliaan Allah. cinta manusiawi
saja tidak cukup. Harus ada cinta Allah yang sejati menjadi dasar sebuah
hubungan suami-istri. Kita harus belajar untuk memperoleh pemulihan Allah dalam
kemampuan kita mengasihi. Dalam bahasa yunani, ada 4(empat) pengertian tentang
‘cinta’/kasih :
Philia : Kasih pertemanan. Ini
merupakan pemberian Allah pada semua orang. Manusia tidak perlu mengenal
Kristus untuk bisa mempunyai Philia. Dalam kasih ini, ada unsur perasaan.
Emosi, kehangatan. Ia ada karena ikatan hubungan tertentu seperti: sahabat,
teman kerabat.
Eros : Kasih karena romantisme, keindahan,
kekayaan, kepandaian, dan sebagainya. Dalam kasih ini ada banyak unsur
perasaan, emosi dan kehangatan, tapi sangat tidak stabil. Eros tergantung pada
si kekasih atau yang dikasihi. Selama yang dikasihi masih memiliki daya tarik,
harta dan sebagainya tetap dikasihi. Karena Eros merupakan cinta bersyarat atau
menuntut adanya timbal balik. Walaupun demikian, eros bukanlah sesuatu yang
jelek. Hidup pernikahan tanpa adanya eors bisa dikatakan ‘damai tapi gersang’.
Hidup bersama satu rumah tetapi tidak ada kehangatan atau saling
menggembirakan.
Storge: Kasih pertalian hubungan darah. Orang
tua – anak, saudara kandung, kerabat lainnya.
Agape : Kasih ini merupakan Kasih Ilahi. Allah
adalah Kasih (I Yohanes 4:8). Agape bisa dimiliki manusia bila ia sudah
mengenal Kristus karena Agape adalah karunia Roh Kudus (Roma 5:5). Agape dapat
disertai perasaan. Ia bersifat stabil karena tidak tergantung pada orang yang dikasihi dan sifatnya tidak bersyarat.
Pada Allah, agapae adalah prakarsa Allah atas kehendak bebas-Nya. Pada manusia,
agapae tergantung pada anugerah Allah dan kehendak manusia untuk taat pada
perintah Allah.
Jadi dalam hidup
pernikahan perlu ada Eros, Philia dan Storge, tetapi harus disempurnakan dengan
Agape. Selain sifatnya yang berprakarsa, Agape juga memampukan orang untuk
memaafkan kesalahan. Agape juga mempunyai banyak sifat. 1 Korintus 13:4-7
4 Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia
tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. 5 Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak
mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan
orang lain. 6 Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan,
tetapi karena kebenaran. 7 Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu,
mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.
Atas dasar tersebut
maka pernikahan adalah menjadi wadah di mana suami istri dan keluarganya
belajar mengembangkan kemampuan saling mengasihi dan mengasihi (terutama
anak-anak) untuk lebih mampu saling mengasihi.
Hidup Serasi dalam Kenyataan
1. Tuhan Yesus menjadi pusat kehidupan
Kehidupan Pasangan
Suami-Istri dan keluarga Kristen harus terikat erat dalam Kristus, sehingga
pemahaman dan pemikiran Pasutri dan keluarga dipengaruhi kasih Kristus.
Janji Tuhan Yesus dalam Matius 18:19-20 “ Dan
lagi Aku berkata kepadamu: Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat
meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di
sorga. Sebab di mana dua atau tiga orang
berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.", ditujukan
untuk Pasutri dan keluarga yang mau selalu mengalami perjumpaan dengan Tuhan,
melalui kesehatian dan doa dan pembacaan Alkitab. Dengan demikian segala yang
berkaitan dengan dosa akan dihindarkan karena Yesus Kristus ditempatkan selaku
Tuhan yang memimpin pernikahan dan keluarga.
2. Menghadapi berbagai hambatan
Kalau tidak ada
hal-hal yang buruk maka hidup menjadi kurang gairahnya, tetapi dengan adanya
tantangan dan hambatan kita justru berusaha untuk maju terus dengan pemikiran
yang positif. Setalah dicermati, maka hanya dua hambatan, yaitu pertama:
hambatan dari diri sendiri berupa perangai, sifat dan watak buruk. Kedua:
hambatan dari luar atau sekitar/lingkungan.
Menyadari akan hal
ini, maka Pasutri harus menampakkan ikatan yang erat dengan Kristus sebagai
Sumber kekuatan dan keselamatanya. Pasutri mau membicarakan dan adanya
kesediaan untuk saling mendengarkan serta memahami dan kemudian saling
memaafkan akan membawa pengaruh baik bagi keutuhan pernikahan dan keluarga
Kristen.
Praktekkan ‘rumus’
pernikahan lestari, yaitu dua orang Pasutri yang saling mengasihi adalah dua
orang yang bersama-sama mengasihi Kristus. Dengan kata lain, menjadi Pasutri
yang takut akan Tuhan. Sehingga tindakan kekerasan dalam rumah tangga tidak
akan terjadi.
3. Membangun komunikasi yang efektif
Kesediaan
membicarakan dan mendengarkan, kita dapat melakukannya dengan bahasa tubuh yang
bertatap muka dengan ramah, memberi sentuhan, dan aktif dalam pembicaraan
dengan kata-kata mendukung:
- Berdasarkan kasih (Kolose 3:14)
- Ada keterbukaan hati dan pikiran (Roma 12:16)
- Saling menerima (Roma 15:7)
- Saling menghormati (Efesus 4:32)
- Mau sepenanggungan (Roma 12:15)
- Memberi semangat (Yesaya 50:4)
- Saling menyegarkan (Yeremia 32:25)
- Saling menyembuhkan (Yakobus 5:16)
Disampaikan dalam Seminar sehari Persatuan Wanita
Kristen Indonesia (DPD PWKI Propinsi Bali), sabtu, 19 Agustus 2006 oleh Pdt.
Emmawati Yulia Baule, S.Th.