Pengantar.
Dengan setengah mencibir, Pak De
Ngatimin begitu sengit mendebat I Wayan Kompyang, seorang bapak muda
tetangganya, yang baru pagi tadi menerima pelayanan Sakramen Baptisan
Kudus bagi anak keduanya: Galuh; “Nak Wayan, baptisan di gerejomu iku
(di gerejamu itu), baptisan saking pundi seh (dari mana ya)? Sopo sing
ajari (Siapa yang mengajarkan) baptisan koyo ngono iku (seperti itu)?
Coba Nak Wayan baca baik-baik dalam Alkitab, mana ada seh cah cuilik
sing (anak kecil yang) dibaptis, apalagi sing masih orok (bayi)? Ndak
ada Nak Wayan! Anak kecilkan belum tahu apa-apa, lagi pula moso’ sing
dibaptis cuma ndase to’, cuma kapalane to’ sing diusepi (yang diusap)
atau diperciken (dipercikkan) banyu (air) ? Walah-walah… gerejo mu iku
kleru tenan (gerejamu itu amat sangat keliru) Yan!”
Belum sempat Pak Wayan berpikir mencari
jawab – soalnya Pak Wayan yang orang Bali itu tidak sepenuhnya paham
apa yang dikatakan Pak De Ngatimin dalam Bahasa Indonesia campur Bahasa
Jawa – Pak De Ngatimin kembali memojokkan Pak Wayan. Dengan gaya bagai
seorang dosen, Pak De Ngatimin mulai ‘menguliahi’ Wayan : “Mari Nak
Wayan, kita dengar opo sing (apa yang) kamus omongken (katakan) tentang
baptisan: istilah “baptis” itu berasal dari kata Yunani “baptizein” atau “baptizoo”
yang secara hurufiah berarti “dicelupkan atau dibenamkan ke dalam air”;
dan yang menerima pembaptisan itu ya, orang yang sudah dewasa, yaitu
mereka-mereka yang sudah cukup umur untuk mengambil keputusan untuk
dibaptis atau tidak dibaptis. Jadi Nak Wayan; jelas di sini bahwa
menurut Alkitab, yang memenuhi persyaratan untuk dibaptis ya bukan
anak-anak kecil… jadi, gerejo sampean iku ndak Alkitabiah dan Injil
seperti gerejoku Nak Wayan! Blih Wayan menjadi bingung berat dan cuma
bisa bengong tanpa daya mendengar brondongan ‘kuliah magrib’ dari Pak De
Ngatimin.
Sebenarnya pendapat atau cara pandang
Pak De Nagtimin mengenai Baptisan sebagaimana yang ia anut dan nyatakan
di atas adalah pengaruh Anabaptisme baik yang bermula di Munster,
Jerman, pada tahun 1522, yakni salah satu sayap (radikal) Reformasi
maupun ajaran dari Gereja Mennonit yang dimulai di Swiss pada tahun 1525
sebagai sempalan dari gerakan Reformasi yang dipelopori oleh Ulrich
Zwingli (1484-1531) di Swiss. Nama Mennonit berasal dari nama Menno
Simons (1497-1561) seorang imam / pastor Gereja Roma Katolik yang
meninggalkan jabatan imam Katolik dan beralih menjadi tokoh gerakan
Anabaptis (gerakan baptis ulang) di Belanda pada tahun 1536 yang lebih
moderat dari yang berkembang di Jerman. Sebelum masuk dan berkembang di
Belanda pada tahun 1530 melalui kiprah Melchior Hoffman (1493-1543),
gerakan Anabaptis pertama-kali dimulai di Swiss sebagai protes atas
sikap kompromi Zwingli dengan pemeritah – yang pada tahun 1524 menunda
pelaksanaan komuni (Sakramen Perjamuan Kudus) yang reformatoris yang
tidak seperti pemahaman komuni Gereja Roma Katolik – di bawah pimpinan
Condrad Grebel seorang warga jemaat turunan bangsawan kaya yang selain
menggugat campur tangan dan kendali pemerintah atas kehidupan gereja,
termasuk dalam urusan Perjamuan Kudus, karena menurut mereka hal itu
bertentangan dengan kehendak Allah, lantas pada saat itu juga kelompok
ini mengajukan dua pokok pikiran: (1) membentuk Partai Reformasi sebagai
partai politik baru di Zurich (dengan harapan bila menang akan
membentuk dewan dan pemerintahan kota yang sepenuhnya akan mendukung
laju Reformasi, dan (2) baptisan anak tidak sah, karena tidak
memungkinkan calon baptisan untuk lebih dahulu menyatakan respons
pribadi atas pengampunan dosa yang ditawarkan Kristus maupun untuk
menyatakan ketaatan serta pertobatan, sebagaimana diamanatkan di dalam
Alkitab. Pada tanggal 21 Januari 1525 kelompok kecil pimpinan Grebel
yang kerap mengadakan ibadah-ibadah Penelaahan Alkitab dihebohkan oleh
George Cajacob (= George Blaurock) peserta aktif kelompok PA yang
meminta supaya Grebel melayani baptisan yang benar atas dirinya, yaitu
sesuai dengan amanat Alkitab. Karena dalam persekutuan doa mereka itu
tidak ada seorang pejabat gereja yang ditahbis, maka Grebel akhirnya
memenuhi permintaan itu. Grebel juga membaptis orang-orang lainnya
anggota dari persekutuannya itu, yang juga memintanya untuk dibaptis.
Peristiwa ini oleh kalangan Mennonit dipahami sebagai hari lahirnya
Anabaptisme. Mengapa penganut Anabaptisme menolak keras baptisan
anak-anak dan begitu ekstrim dan fanatik untuk mempengaruhi orang yang
sudah dibaptis pada waktu kecil – dengan baptis percik, meski dalam
nama; Bapa dan Anak dan Roh Kudus – agar mengulang baptisannya dengan
baptisan dewasa dan baptisan selam, karena menurut penganut Anabaptisme
(Kaum Mennonit) pembaptisan yang sah sesuai ajaran Alkitab hanyalah
pembaptisan yang dilayankan bagi mereka yang sudah mampu menghayati dan
melaksanakan panggilan imannya. Karena itu hanya boleh dilayankan bagi
orang dewasa yang sudah sungguh-sungguh menerima panggilan pertobatan
dan hidup baru (jadi bukan sembarang orang dewasa). Sebab Baptisan tidak
hanya berisi janji pengampunan, melainkan tantangan untuk merubah
perilaku. Itu berarti megambil keputusan untuk menjalani jenis kehidupan
yang sama sekali baru serta terikat sepenuhnya kepada perintah Kristus
maupun pada ikatan persahabatan, sebagaimana yang diamanatkan Kristus
dan para rasul – sikap ekstrim mana yang mengingatkan kita pada
penolakan oleh zendeling (Penginjil) P.Janez untuk membaptiskan Ibrahim
Tunggul Wulung pada tahun 1854. Tokoh Pribumi Jawa ini dinilai Janes
kurang suci, karena masih mempertahankan budaya Jawa. Penolakan ini
berkembang menjadi konflik di antara keduanya, yang mengakibatkan
kerugian besar bagi pekabaran Injil dan pertumbuhan gereja di kawasan
Muria (Semarang-Jawa Tengah) pada masa itu dan selanjutnya.
Mungkin anda pernah bersoal-jawab
perihal topik “baptisan” seperti ilustrasi tadi, atau minimal dalam
benak anda pernah bergumul dengan apa yang dipermasalahkan Pak De
Ngatimin terhadap Blih Wayan dalam kisah tadi. Mengapa Blih Wayan
bingung dan lidahnya kelu terhadap ceceran ‘kuliah magrib’ Pak De
Ngatimin ? Karena Blih Wayan tidak Alkitabiah (= hidup kurang peduli
pada Alkitab, kurang membaca dan menggali isi Alkitab, sehingga tidak
dapat menjawab permasalahan sebagaimana apa kata Alkitab). Mengapa Pak
De Ngatimin amat sombong rohani sehingga seenaknya menghakimi
tentangganya, Blih Wayan dan Gereja di mana Blih Wayan menjadi
anggotanya, sebagai Gereja yang tidak Alkitabiah? Karena, meskipun Pak
De Ngatimin menyebut diri dengan bangganya sebagai yang Alkitabiah dan
Injili, tetapi sebetulnya dalam realitas / kenyataan sesungguhnya Pak De
Ngatimin ini juga tidak Alkitabiah. Mangapa? Karena Pak De Ngatimin
tidak memahami Alkitab secara proposional; - karena tidak membaca
Alkitab secara benar, eksegetis dan sistematis; baca Alkitab sih baca,
tapi cuma membaca sesuai selera dan pengertiannya sendiri sehingga –
baru tahu sedikit dan sepotong-sepotong lantas bergaya tahu segalanya,
kemudian ngomong kesana kemari untuk menyalahkan orang lain sebagai yang
tidak Alkitabiah dan tidak Injili.
Apa Kata Alkitab tentang Sakramen Baptisan.
Sebenarnya apa yang dipermasalahkan dan
diperdebatkan Pak De Ngatimin terhadap Blih Wayan tersebut hanya
‘pepesan kosong’; maksudnya hanya sesuatu yang tidak ada gunanya,
sia-sia serta tidak memiliki nilai kebenaran Alkitabiahnya.
Mengapa ? Karena masalah / dikotomi
“baptisan selam dan baptisan percik” atau dikotomi “baptisan dewasa dan
“baptisan anak-anak” yang sering orang Kristen perdebatkan hingga saat
ini, sebenarnya tidak ada dalam Alkitab. Masalah / dikotomi tersebut
bukanlah sesuatu yang prinsipiil dalam Alkitab; Alkitab tidak pernah
membicarakan apalagi mempertentangkannya dalam perspektif (sudut
pandang) yang dikotomis seperti itu. Bahkan dikotomi “baptisan selam dan
baptisan percik” serta “baptisan dewasa dan “baptisan anak-anak” ini
bukanlah terminologi (bahasa yang biasa dalam pembicaraan) yang
Alkitabiah. Yang sesungguhnya terdapat dalam pemberitaan Alkitab adalah
perihal :
- Baptisan PERSEORANGAN (Baptisan individual / orang per-orang), dan
- Baptisan KELUARGA (Baptisan kolektif/ sekeluarga: dilangsungkan bagi seisi rumah-tangga)
Mengenai dua jenis Baptisan ini kemudian
Alkitab juga saksikan bahwa Baptisan Perorangan (Baptisan Individual)
jarang sekali terjadi; dalam Alkitab tercatat hanya ada dua orang saja
yang mendapat pelayanan Baptisan secara perseorangan atau secara
individual, yaitu bagi: Kepala Perbendaharaan di Tanah Habsy (Kisah Para Rasul 9:3-38) dan Rasul Paulus (Kisah Para Rasul 22 dan 26).
Mengapa mereka dibaptis secara perseorangan? Karena mereka tidak kawin,
karena itu mereka tidak punya anak. Yang banyak dijumpai dalam
kesaksian Alkitab adalah pelayanan Baptisan Keluarga (Baptisan
Kolektif). Misalnya, Krispus dibaptis bersama seisi rumah-tangganya (Kisah Para Rasul 18:8
bandingkan 1 Korintus 1:14). Demikian pula Kornelius (Kisah Para Rasul
10:48). Lydia (Kisah Para Rasul 16:15). Kepala Penjara Filipi yang
bertobat (Kisah Para Rasul 16:33). Juga Stefanus (1 Korintus 1:16) dan
masih banyak lagi.
Kalau Alkitab menyebut “bersama seisi rumah” atau “bersama keluarga” itu maksudnya bukan
sebatas pada orang-orang dewasa saja tapi sekaligus juga dengan
anak-anak mereka; pada saat itu juga mereka bersama-sama dibaptis. Dalam
hal ini – pembaptisan kepada anak-anak – dilayani berdasarkan iman,
tetapi bukan iman individual, melainkan iman korporatif. Benar di
sini anak-anak kecil belum tahu apa-apa tentang Kristus dan anugerah
Allah, tetapi orang tua mereka dan anggota-anggota keluarganya yang lain
sebagai persekutuan, tahu akan hal itu. Berdasarkan pengetahuan mereka
itu – dan terutama berdasarkan pengetahuan iman jemaat yang mencakup
mereka (keluarga ini) sebagai anggota – sama
sekali tidak ada alasan untuk tidak membaptis anak-anak mereka (=
membawa masuk anak-anak mereka kedalam kasih dan anugerah keselamatan
Yesus Kristus).
Melalui kesaksian Alkitab mengenai iman korporatif sebagaimana yang dicatat dalam Injil Markus 2:1-12, bandingkan Matius 9:1-8 dan Lukas 5:17-26 : kisah penyembuhan karena iman kawan-kawannya; dan Injil Matius 8:5-13
bandingkan Lukas 7:1-10 dan Yohanes 4:26-53: kisah penyembuhan karena
iman tuannya (ayat 13), Alkitab menyatakan bahwa iman korporatif-pun
berkenan kepada Allah, karena dipandang sebagai suatu kebenaran yang
sah. Dengan mengacu pada (1) keberkenanan Allah terhadap iman
korporatif, (2) arti semantik dari “baptisan” yakni tindakan membawa masuk kedalam kasih dan anugerah keselamatan dalam Yesus Kristus,
maka sekali lagi tidak ada alasan bagi setiap orang percaya untuk tidak
memberikan pelayanan Sakramen Baptisan Kudus bagi anak-anak, meski
masih bayi sekalipun. Kuncinya adalah Iman Korporatif yang berlangsung
dalam hal ini. Itulah sebabnya mengapa gereja kita melangsungkan
pelayanan Sakramen Baptisan Kudus kepada anak-anak.
Alkitab Tidak Mempersoalkan Cara Pembaptisan
Selanjutnya, bila kita membaca Alkitab
dengan teliti dan dengan akal yang sehat, maka kita akan mendapati bahwa
Alkitab kita juga tidak pernah mempersoalkan “cara” pembaptisan seperti
yang dibingungkan oleh Pak De Ngatimin dan Blih Wayan dalam ilustrasi
kita di atas. Karena kata Yunani “baptizzo” sendiri memiliki multi arti
yang sah (bukan cuma memiliki satu arti). Kata “baptizzo”di samping
berarti “dicelupkan” bisa juga diartikan “ditanamkan ke dalam” tapi bisa
juga berarti “dicurahkan”. Secara eitiologis (asal-muasalnya)
Pembaptisan berpangkal pada upacara pembersihan atas yang haram menurut
agama Yahudi,. Upacara pentahiran/menghalalkan diri itu dilakukan dengan
cara membenamkan seluruh tubuh seseorang ke dalam air yang mengalir.
Upacara ini mencerminkan pengharapan yang tertulis dalam kitab Yehezkiel 36:24-26, yang pada ayat 25 nya tertulis: “Aku akan mencurahkan (Ibrani: zaraq = memercikkan; Inggris: springkle) kepadamu air jernih yang akan mentahirkan kamu…”
Dalam
kaitannya dengan Sakramen Baptisan Kudus, yang dipentingkan bukan
dicelupkan atau tidak dicelupkan kedalam air, akan tetapi “dibawa masuk”
atau “ditanamkan kedalam” kasih anugerah Kristus (Roma 6:5) atau “mengenakan” Kristus (Galatia 3:27).
Itu yang penting dan yang prinsip. Karena Air baptisan sebanyak apapun
dan atau yang mengalir sekuat apapun tidak dapat menyelamatkan orang
dari belenggu dosa dan maut. Penggunaan air dalam baptisan percik
merupakan lambang dari darah domba
yang disembelihdalam perayaan Paskah Yahudi menjelang Musa membawa umat
Israel keluar dari tanah perbudakan Mesir menuju tanah perjanjian
sebagaimana yang dicatat dalam Keluaran 12 yang ketika
dipercikkan/dibubuhkan pada kedua tiang pintu dan pada ambang atas pintu
rumah menjadi ‘meterai keselamatan’ yang meluputkan umat Tuhan dari
maut tulah ke sepeluh yang membinasakan itu. Dalam tradisi ibadah umat
Perjanjian Lama, penggunaan darah domba yang dipercikan juga digunakan
sebagai tanda pengudusan, pentahiran dari dosa-dosa (menghalalkan diri)
Yang Penting dan Prinsipiil dalam Sakramen Baptisan : Dengan Nama Siapa Kamu Dibaptis?
Dari nas-nas Alkitab yang bertutur
tentang Baptisan, kita memperoleh pernyataan bahwa bukan “cara”
pembaptisan yang penting dan merupakan hal yang prinsipiel, akan tetapi dengan “nama” siapa pembaptisan itu dilayani, yakni: dalam nama Tuhan Yesus; yang dalam rumusan baptisan sebagaimana yang Tuhan Yesus amanahkan/perintahkan dalam Matius 28: 18-20 adalah: dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus. Itulah sebabnya dalam kesaksian Kitab Kisah Para Rasul 19:1-12,
meskipun murid-murid Yohanes sudah menerima pembaptisan (menerima
baptisan Yohanes dari guru mereka yaitu Yohanes Pembaptis) namun karena
mereka belum dibaptiskan dalam nama Tuhan Yesus (menerima Baptisan
Yesus: dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus) maka atas diri mereka
(murid-murid Yohanes Pembaptis ini) dilayankan lagi pembaptisan dalam
nama Tuhan Yesus barulah kehidupan mereka dipenuhi kuasa Roh Kudus.
Namun pelayanan baptisan dalam konteks Kisah Para Rasul 19 ini maksudnya
adalah bukan merupakan pembaptisan ulang! Mengapa? Karena Baptisan
Yohanes Pembaptis tidak sama dengan Baptisan Yesus.
Baptisan Yohanes Pembaptis Berbeda Dengan Baptisan Yesus
Baptisan Yohanes Pembaptis adalah “tanda pertobatan” (Kisah 19:4a bandingkan Matius 3:11a, Markus 1:4, Lukas 3:4, Yohanes 1:26a) sedangkan Baptisan Yesus Kristus adalah “meterai keselamatan”
(Kisah Para Rasul 19:14b, Matius 3:11b, Markus 1:7-8, Lukas 3:16,
Yohanes 1:26b-27, Matius 28:18-20, Kisah Para Rasul 16:30-33). Karena
pada masa lalu murid-murid Yohanes Pembaptis belum dibaptis dengan
Baptisan Yesus (= dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus), maka kini
sebagai meterai keselamatan yang menandakan dipersekutukan/dibawa masuk
ke dalam kasih dan keselamatan Kristus, merekapun kemudian dibaptis
dalam nama Kristus yang Maha-ajaib dan Maha-kuasa itu.
Hal tersebut sekaligus menunjukan bahwa
Alkitab sama-sekali tidak pernah mengajarkan orang untuk dibaptis ulang.
Karena secara Alkitabiah, orang cukup satu kali saja menerima materai
pembaptisan Yesus Kristus: dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, baik
secara perseorangan (individual) maupun secara keluarga (kolektif), baik
itu baptisan dewasa maupun baptisan anak-anak; dengan cara selam maupun
percik; semuanya sah bila dilaksanakan sebagaimana yang diamanatkan
oleh Tuhan Yesus, yakni dibaptis dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.
Satu kali menerima “meterai keselamatan”
melalui Baptisan Yesus Kristus, yakni dengan dibaptis dalam nama Bapa
dan Anak dan Roh Kudus, bagaimanapun caranya adalah sah dan tidak boleh
diulang-ulang.
Sakramen Baptisan merupakan Pemenuhan Amanat Yesus Kristus dan Pemenuhan Amanat Nikah Kristen
Dalam perspektif liturgis, Pelayanan
Sakramen Baptisan Kudus yang dilayankan bagi anak-anak dalam
rumah-tangga Kristen warga GPIB merupakan pemenuhan/penggenapan dari
Amanat Tuhan Yesus yang dicatat dalam Injil Matius 19:14 (khususnya 14a
dan 14b): “…”Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku…” dan Injil Matius 28:18-20: “…baptislah
mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka
melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu…”
sekaligus juga merupakan pemenuhan terhadap Amanat Nikah Kristen yang
dibacakan oleh Pendeta (Pelayan Firman dan Sakramen) sebelum kedua
mempelai – yang kini sudah menjadi seorang ayah dan ibu yang membawa
anak untuk dibaptis – mengucapkan janji setia untuk menjalani hidup
sebagai suami dan isteri yang saling setia dalam suka-duka, untung dan
malang dan akan menjalani hidup dalam kesetiaan sebagaimana yang patut
dibuat oleh seorang suami dan isteri yang beriman kepada Yesus Kristus;
amanat nikah mana yang dalam liturgi pernikahan di GPIB berbunyi:
hendaklah suami istri membentuk persekutuan yang tetap sampai maut
memisahkan, membina rumah tangga dan kalau Allah mengaruniakan anak,
memelihara dan mendidiknya dalam pengenalan akan Juruselamat. (Amanat
Nikah yang kedua dari tiga amanat yang dibacakan menjelang Janji Nikah).
Jadi, saat orang tua warga GPIB membawa
anaknya untuk di baptis, sebenarnya ia tengah melunasi hutang
ketaatannya kepada Tuhan sebagaimana janji nikah yang diucapkan pada
waktu peneguhan dan pemberkatan nikahnya di hadapan Tuhan dan Jemaat-Nya
dulu; dan berbarengan dengan itu sekaligus juga merupakan wujud
pemenuhan dari ketaatannya pada Amanat Yesus Kristus. Karena itu
Sakramen Baptisan Kudus yang telah diterima semenjak masa kecil dulu –
meski berdasarkan iman korporatif – tidaklah boleh dianggap sepele dan
rendah, melainkan wajib dijunjung tinggi, dipelihara dan dijaga
kekudusan serta keabsahannya. Inilah latar-belakangnya mengapa GPIB
menolak praktek pembaptisan ulang (sudah dibatis waktu kecil kemudian
ketika dewasa dibaptis lagi meski dengan cara yang berbeda sekalipun)
Bentuk Sakramen Baptisan yang Dilayankan di GPIB.
Ada 2 (dua) bentuk pelayanan Sakramen Baptisan yang dilayankan di GPIB; yakni : (1) Baptisan Anak sebagaimana uraian di atas dan (2) Baptis-Sidi,
yakni Pembaptisan yang diperuntukan bagi warga gereja yang tidak masuk
dalam kategori usia kanak-kanak lagi – dalam hal ini bagi mereka yang
telah berusia remaja dan dewasa – namun yang dilayankan setelah yang
bersangkut itu selesai mengikuti pembinaan Kateksasi secara penuh dan
juga telah dinyatakan layak untuk diteguhkan sebagai Warga Sidi Jemaat.
Jadi dalam hal ini GPIB bukan melaksanakan pembaptisan dewasa tanpa
katekisasi-sidi, melainkan pembaptisan sekaligus peneguhan sebagai Warga
Sidi Jemaat.
Makna Alkitabiah dari Pembatisan dalam Nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus
Dalam rumusan Liturgi Baptisan GPIB dnyatakan bahwa
dibaptis dalam nama Bapa meneguhkan bahwa Allah mengadakan suatu
perjanjian keselamatan dengan kita dan anak (anak-anak) kita dan
mengangkat kita menjadi anak (anak-anak)-Nya dan pewaris dari perjanjian
keselamatan tersebut. Dibaptis dalam nama Anak meneguhkan bahwa, Ia
telah menyucikan kita dari segala dosa kita sebagaimana kita telah
dikuburkan bersama dengan Dia oleh baptisan dan kematian-Nya, supaya
sama seperti Kristus, telah dibangkitkan, demikian pula kita dipanggil
masuk ke dalam hidup yang baru. Dibaptis dalam Roh Kudus, meneguhkan
bahwa Roh Kudus akan berdiam dalam diri kita dan memberikan kepada kita
oleh persekutuan dengan Kristus suatu hidup dari hari ke hari.
Demikianlah dengan baptisan kita masuk
dalam persekutuan orang-orang beriman yang merupakan tubuh Kristus serta
ikut mengambil bagian dalam pekerjaan keselamatan Allah.
Rumusan ini juga memuat kebenaran
Alkitabiah yang menyatakan bahwa ; (1) Sakramen Baptisan adalah tanda
atau meterai pengesahan dari keberadaan kita sebagai anak-anak Allah
(bandingkan Yohanes 1:12) dan (2) Dengan Sakramen Baptisan kita juga
“dibawa masuk” atau “ditanamkan ke dalam” kasih anugerah Kristus (Roma
6:5) sehingga menerima warisan sebagai anak perjanjian dalam perjanjian
Allah kepada Abraham melalui garis keturunannya dengan Sarah sebagaimana
yang Alkitab catat dalam Galatia 5:22-23,28 dan 30-31 : “…Tetapi anak
dari perempuan yang menjadi hambanya itu diperanakan menurut daging dan
anak dari perempuan yang merdeka itu (diperanakan) menurut janji…kamu,
saudara-saudara, kamu sama seperti Ishak adalah anak janji…sebab anak
hamba perempuan (yang budak) itu tidak akan menjadi ahli waris
bersama-sama dengan anak perempuan merdeka itu…kita bukanlah anak-anak
hamba perempuan, melainkan anak-anak perempuan merdeka.”
Sakramen Baptisan Kudus di sini dipahami
sebagai inisiasi atau lambang dari perjanjian untuk masuk ke dalam
persekutuan dengan Kristus; mati dan dikuburkan bersama Yesus untuk
kemudian dibangkitkan untuk hidup baru dalam Dia (Roma 6:4-11).
Catatan Penutup.
Barangkali ‘filosofi stempel’ berikut
ini akan membantu kita untuk tidak meremehkan makna baptisan yang telah
termeterai atas diri kita. Dibaptis dalam nama Bapa dan Anak dan Roh
Kudus dapat juga dipahami bahwa kita telah dimetrai (dicap/distempel
resmi) pertanda sah menjadi “milik Kristus sah menjadi anak Tuhan " (Yohanes 1:12).
Pada surat-surat berharga atau pada sesuatu yang berharga, meterai atau
cap atau stempel cukup dibubuhkan satu kali dan tidak boleh dibubuhkan
berulang-ulang sehingga menjadi tumpang tindih. Jika meterai atau cap
atau stempel itu kedapatan tumpang-tindih, numpuk-nupuk tidak keruan
(bertumpuk-tumpuk tidak jelas) maka ia malah menjadi cacat hukum,
diragukan keabsahannya atau malah langsung dinyatakan invalid.
Oleh karena itu, baptisan/ meterai
keselamatan itu perlu senantiasa dijaga dan dipelihara agar ia tidak
ternoda atau kedapatan “cacat hukum” pada saat ini, maupun pada saat
peghakiman nanti. Untuk itu, setiap warga
GPIB apalagi para pemimpinnya (para pejabat gereja di jajaran GPIB)
perlu selalu mawas diri dan wajib menjadi teladan/pantutan dalam hal
baptisan dan juga dalam hal melakukan ajaran-ajaran gerejawi lainnya
sebagai implementasi dari ketaatan menjalankan kewajibannya sebagai
orang Kristen (warga GPIB) yang sejati, sebagaimana keteladanan
Rasul Paulus dalam melaksanakan tugas pelayanannya melalui pesannya
berkut ini: “…aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya
sesudah aku memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri di
tolak (1 Korintus 9:27).
Daftar Buku Bacaan :
- Alkitab, L.A.I.
- Tafsiran Kitab Kisah Para Rasul, Ds.H.v.d. Brink, BPK Gunung Mulia.
- The Layman’s Bible Comentari in Twenty-five Volume: Volume 13, Ezekiel,Daniel, Carl G. Howie.
- The Layman’s Bible Comentari in Twenty-five Volume: Volume 20, Acts of theApostles, Albert C. Win.
- Baptisan, J.L.Ch.Abineno, BPK Gunung Mulia.
- Sejarah Apostolat di Indonesia II/1, J.L. Ch.Abineno, Persetia-BPK Gunung Mulia.
- Baptisan Masal dan Pemisahan Sakramen-Sakramen, I.H. Enklaar, Persetia-BPK Gunung Mulia.
- Sejarah Gereja, H.Berkof – I.H. Enklaar, BPK Gunung Mulia.
- Harta Dalam Bejana, Th. Van den End, BPK Gunung Mulia
- Berbagai Aliran di dalam dan di sekitar Gereja, Jan S, Aritonang, BPK Gunung Mulia.
- Jesus and God’s New Peolple, The Four Gosples, Howard Clark Kee, The Westminster Press.
- Tata Ibadah Sakramen Baptisan GPIB