Materi Katekisasi 17
Pokok Bahasan : Ajaran Gereja GPIB
Sub Pokok Bahasan : Manusia Ciptaan Allah
Tujuan Pembelajaran Khusus : Agar peserta katekisasi dapat :
- Memiliki Pemahaman Iman yang benar kepada Allah berdasarkan Alkitab
- Percaya dan mengaku karya Allah dalam Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruslamat
- Menjadi warga gereja yang bertanggung-jawab dengan melaksanakan misi Kristus di tengah keluarga, gerejadan masyarakat serta ciptaan-Nya sebagai ciptaan Allah dan menghayatinya dalam kehidupan beriman.
Ada banyak pandangan tentang
asal-usul manusia dalam berbagai suku dan agama di Indonesia mulai dari yang
paling sederhana sampai yang paling berbelit-belit. Salah satunya adalah pada
suku bangsa Wemme di Seram Barat terdapat tradisi tentang Hainuwele. Seorang
anak yang lahir dari darah bapaknya Amete, kotorannya berupa intan, batu
permata, piring dan alat musik sehingga menimbulkan banyak orang yang iri
padanya. Pada sebuah perayaan yang berlangsung sembilan malam Hainuwele dengan
diiringi tarian dan nyanyian dimasukkan dalam liang dan dibunuh. Jenazahnya di
gali Amete, dipotong-potong dan di tanam. Dari padanya timbul tetumbuhan baru
seperti ubi, kacang, padi. Amete menunjukkan kedua tangan Hainuwele kepada
Mulua Satene (Tuhan Raja) yang menyuruh semua orang berkumpul dan masuk gapura
di mana tangan tadi diadili. Orang yang salah diubah menjadi babi, kijang,
burung, ikan (binatang yang sebelumnya tidak ada) dan orang yang baik diangkat
menjadi patilima dan patisiwa, nenek moyang para bangsawan di Seram. Seiring
dengan mitos ini terdapat banyak lagi mitos dalam agama-agama asli Indonesia
tentang asal-usul alam dan yang di dalamnya juga menceritakan asal-usul
manusia.
Dalam agama-agama asli Indonesia,
kita mendapati bahwa manusia hidupnya sangat bergantung dari alam dan apabila
ia selaras dengan alam,maka hidupnya beres dan sebaliknya apabila tidak ada
keselarasan maka hidupnya akan hancur. Keselarasan itu ditentukan dari praktek
hidup di mana ia memahami dengan baik asal-usul dan susunan alam, tetapi
manusia tetaplah penguasa dunia. Tetapi bagaimana asal-usul manusia dan
keberadaannya, Alkitab menceritakannya secara berbeda.
Siapakah saya menurut Alkitab ?
Manusia yang diciptakan Allah dan tanggung-jawabnya
Manusia dalam catatan Alkitab,
Kejadian 1:26 diciptakan oleh Allah Tritunggal ("...baiklah kita
menjadikan manusia..") dan Alkitab memahami manusia secara utuh yaitu
terdiri dari tubuh, roh dan jiwa (Kejadian 2:7 "...menghembuskan nafas
hidup kedalam.....") itu berarti bahwa Allahlah yang memberikan kehidupan
itu pada manusia, manusia bukanlah makhluk hidup tanpa salah satu unsur
tersebut.
Manusia hidup: saling menghargai dan menghormati
Laki-laki maupun perempuan adalah
ciptaan Allah yang hidup saling melengkapi dan menolong, sehingga setiap
manusia wajib menghargai dan menghormati sesamanya. Alkitab menceritakan
penciptaan manusia itu pada bagian pertama di Kejadian 1:26-28; 2:7 yang
menggambarkan kemanusiaan manusia hanya dimengerti dalam hubungan dengan Allah
sehingga di luar hubungan manusia dengan Allah kita tidak dapat memahami
manusia sebagai ciptaan Allah (Homo Religius). Hubungan yang positif ini harus
nampak dalam penghormatan kepada Allah.
Pada bagian kedua, di Kejadian 2:
15-25 penciptaan manusia dimaksudkan agar manusia menjalin hubungan yang
positif dengan sesamanya dan sesama harus dilihat sebagai anugerah Allah (Homo
Social). Sehingga ketika Allah yang menciptakan jenis kelamin lain yang berbeda
dengan manusia ("isyh") memperkenalkan manusia perempuan
("isyah") kepadanya, maka manusia "menyambutnya" dengan
positif (Kejadian 2:23). Sambutan ini merupakan respon terhadap anugerah Allah
yang menghadirkan sesama tetapi juga kehangatan dalam "menyambut yang
berbeda" dengan baik.
Dalam membangun hubungan dengan
sesama ciptaan, manusia dipanggil untuk menyambut yang lain baik di tengah keluarga,
gereja dan masyarakat sebagai anugerah yang Tuhan hadirkan untuk saling
mengasihi dan memperlengkapi demi kebersamaan dan kesejahteraan sesama.
Sehingga manusia Kristen terpanggil untuk bersikap adil terhadap sesamanya
dimanapun ia dihadirkan Tuhan. Perilaku adil ini didasarkan pada kesadaran
sebagai ciptaan manusia wajib memegang nilai-nilai etis tentang kesepadanan dan
kesetaraan dan ini juga terwujud dalam relasi perkawinan: suami-istri dan
relasi keluarga: orang tua-anak dan perempuan-laki-laki.
Manusia juga diciptakan Allah
sebagai makluk yang berpikir (Homo Rationale), di mana sudah sejak
penciptaannya manusia dianugerahi Allah akal budi. Istilah kese-rupa-an dan
kese-gambar-an bukan hanya menunjuk pada hubungan cinta kasih dengan Allah
tetapi juga secara tersirat mengandung pengertian, sama seperti Allah pribadi
yang berpikir maka ia juga memberikan kedalam diri manusia akalbudi. Hal itulah
yang menurut pemazmur terletak kehormatan dan kemuliaan manusia yang membedakan
manusia dari ciptaan Allah yang lain. Akal budi merupakan sebuah elemen dari
hidup pemberian Allah. Dalam konteks ini manusia dalam menjalani hidupnya juga
terpanggil untuk menggunakan akal budinya secara bertanggung-jawab : mengkaji,
menganalisa sebelum mengambil kaputusan dan membuat langkah-langkah startegis.
Itu berarti manusia yang utuh
adalah apabila ia membangun, membina dan memelihara hubungan yang baik dengan
Tuhan selaku penciptanya (hubungan vertikal), dengan sesama ciptaan (hubungan
horizontal) tetapi sekaligus juga menggunakan akal budinya (berpikir dan
mempertimbangkan sesuatu) dalam menjalani panggilan hidupnya.
Manusia yang bekerja : sebuah mandat yang disyukuri
Dalam tradisi reformasi, kerja
dilihat sebagai ungkapan syukur atas "mandat" (kepercayaan dan
tanggung jawab) yang telah diberikan oleh Allah kepada manusia (Kejadian 1:28),
sehingga kerja adalah bagian dari panggilan pelayanan kepada Allah (Filipi
2:12-16, Efesus 6:7) dan kewajiban untuk memuliakan Allah (Kolose 3:17).
Sehingga manusia Kristen terpanggil untuk memiliki etos kerja yang baik karena
dengan bekerja, manusia memiliki "peluang" untuk menyatakan
tanggung-jawabnya untuk kepada Allah. Kerja di sini bukan hanya dalam lingkup
gereja, tetapi juga di luar gereja. Ruang di manapun manusia melaksanakan
tanggung-jawabnya adalah ladang pelayan yang harus digarap dengan
sungguh-sungguh karena dilakukan untuk Tuhan bukan untuk manusia (Efesus 6:7).
Allah menciptakan manusia untuk
tujuan yang mulia yakni keselamatan hidup semua ciptaan. Untuk maksud dan
tujuan itu pula Allah memberikan "mandat" (kepercayaan dan tanggung
jawab) kepada manusia agar manusia menatalayani (Yunani : Oikonomos, Inggris :
stewardship) alam semesta. Manusia diberikan kebebasan untuk menatalayani alam
semesta dalam batas-batas tanggung-jawab sesuai dengan Firman Allah (Kejadian
2:15-17). Dalam hal ini manusia bukan pemilik alam ini, manusia hanya bertugas
untuk menatalaninya dan alam, sama dengan manusia adalah sama-sama ciptaan
Allah sehingga tidak untuk disembah. Alam bukan musuh manusia, alam adalah
sesama ciptaan, manusia dan alam dipanggil untuk saling mendukung. Kata
"taklukkan" dan "berkuasalah" (Kejadian 1:28) menunjuk pada
artikulasi positif, kedua kata tersebut menunjuk pada pengertian pemberdayaan
sumber daya alam.
Demikian pula Allah menciptakan
tubuh manusia itu sempurna tetapi kondisi ini tidak kemudian membuat orang
mengambil posisi, menyembah atau sebaliknya merendahkannya. Manusia Kristen
terpanggil untuk memanfaatkan tubuhnya sendiri secara proporsional.
Pengkultusan pada tubuh manusia dapat menghantar orang pada
"pengaguman" tubuh yang mengakibatkan manusia menempatkan diri pada
posisi superior atas manusia yang lain. Pada sisi yang lain
"penolakan" manusia terhadap tubuh yang Allah ciptakan juga dapat membuat
manusia menyalahkan Allah sebagai pencipta dan sekaligus menyesali diri yang
berkepanjangan.
Manusia yang menyalahgunakan
kebebasan
Kebebasan adalah hak asasi
manusia yang dikaruniakan Allah sejak penciptaan. Kebebasan adalah sesuatu yang
melekat utuh pada manusia sejak penciptaan dan hal itu bukan karena status
sosialnya. Secara sosial kebebasan manusia harus diatur di dalam norma
masyarakat dan agama agar kebebasan dapat diberdayakan demi kepentingan
bersama, manusia Kristen tidak pernah mengenal kebebasan tanpa batas, dalam hal
ini kebebasan Kristen disebut kebebasan yang bertanggung-jawab.
Bertanggung-jawab terhadap siapa? Terhadap Allah selaku pencipta, pemberi
"mandat" dan terhadap sesama ciptaan yang dipercayakan Allah untuk
dikelola. Tetapi dalam melaksanakan "mandat" Allah ini manusia
seringkali gagal, karena menyalahgunakan kuasa dan tanggungjawabnya sehingga
manusia jatuh dalam dosa dan kesalahan. "Mandat" dapat menjadi
peluang untuk melaksanakan misi Allah tetapi sekaligus dapat menjadi "godaan
besar" untuk mengeksploitasi sesama ciptaan bahkan menempatkan pencipta
dalam posisi ciptaan dan sebaliknya, ciptaan dalam posisi pencipta.
Daftar Pustaka
- Agama Asli Indonesia, Rachmat Subagya, Sinar Harapan, 1981
- Dogmatika Masa Kini, Soedarmo, BPK Gunung Mulia
- Intisari Iman Kristen, Harun Hadiwijono, BPK Gunung Mulia
- Pemahaman Iman GPIB, Majelis Sinode GPIB, 2007
- Teologi Perjanjian Lama, C. Barth, BPK Gunung Mulia, 1988