DIPANGGIL UNTUK MELAYANI

Bacaan Matius 9 : 35 - 36

DIPANGGIL UNTUK MELAYANI 

1. Pembukaan

Setiap orang terpanggil untuk melayani, tetapi tidak semua orang tahan uji dalam melayani. Karena itu, hanya orang-orang pilihan yang dapat melayani dalam ketaatan, kesetiaan, dan ketulusan. Tanpa ketiga hal ini, pelayanan yang dilakukan semata hanya untuk menyenangkan hati manusia, terlebih untuk mendapat pujian. Karena itu, setiap orang perlu belajar untuk memahami dengan baik arti dari melayani yang sesungguhnya

Yesus tidak tinggal diam. Ia melangkah dari kota ke kota, dari kampung ke kampung; Ia hadir, Ia melihat, Ia mengajar, Ia menyembuhkan. Dari gerak langkah-Nya, kita menangkap inti panggilan: dipanggil untuk melayani.

2. Konteks Teks

Matius 9:35-36 menampilkan ritme kehidupan Yesus: mengajar di rumah-rumah ibadat, memberitakan Kerajaan Allah, menyembuhkan segala penyakit dan kelemahan. Lalu, saat memandang orang banyak, Ia tergerak oleh belas kasihan, sebab mereka "lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala."

3. Eksposisi Ayat 35: Teladan Pelayanan Yesus

- Hadir: Yesus menjangkau “segala kota dan desa.” Pelayanan tidak eksklusif; Ia turun ke ruang-ruang nyata, di mana manusia hidup dan bergumul.

- Firman: Ia mengajar dan memberitakan Injil tentang Kerajaan Allah. Pelayanan Yesus menerangi pikiran dan menuntun hati pada pemerintahan Allah yang menyembuhkan dan menguduskan.

- Pemulihan: Ia menyembuhkan kelemahan dan penyakit. Firman menjadi wujud nyata: kasih bekerja, luka dipulihkan, harapan bangkit.


4. Eksposisi Ayat 36: Hati yang Tergerak oleh Belas Kasihan

- Pandangan yang melihat: “Melihat orang banyak.” Pelayanan dimulai dari kepekaan; melihat bukan sekadar memandang, tetapi mengenali wajah, beban, cerita.

- Diagnosa rohani: “Lelah dan terlantar.” Lelah mengisyaratkan beban yang berkepanjangan; terlantar berarti tidak tertopang, tak terurus.

- Gambaran gembala: “Seperti domba yang tidak bergembala.” Tanpa gembala, kawanan tersesat, mudah diserang, kehilangan arah. Belas kasihan Yesus bukan sekadar iba; itu gerak yang mengarah pada penuntunan, perlindungan, dan pemulihan.

5. Dipanggil untuk Melayani: Tiga Dimensi

- Melayani dengan kehadiran: Bergerak mendekati, hadir di “kota dan kampung”—di relasi, komunitas, ruang kerja, dan lingkungan sekitar. Kehadiran yang setia adalah bahasa kasih yang pertama.

- Melayani dengan firman: Mengajar yang menuntun, memberitakan Injil  tentang Kerajaan Allah  yang mengubah. Firman membentuk cara pandang, memperbarui hati, dan mengarahkan langkah.

- Melayani dengan belas kasihan: Menyentuh luka dengan kasih yang bertindak. Belas kasihan menolak sikap acuh; ia menjelma menjadi doa, tanggapan, dan pertolongan yang konkret.

6. Aplikasi Praktis

- Lihat dan kenali: Latih kepekaan untuk melihat “lelah dan terlantar” di sekitar—dalam keluarga, gereja, tempat kerja, lingkungan.

- Langkahi jarak: Datangi, dengarkan, dampingi. Kehadiran mendahului solusi.

- Bertindak di dua jalur: Firman dan kasih. Teguhkan jiwa melalui pengajaran yang setia; sertai dengan tindakan yang menolong: mendoakan, menghubungkan, mendampingi, memberi, menyembuhkan.

- Gembalakan bersama: Bangun komunitas yang menggembalakan—pemimpin yang hadir, tim yang saling melayani, budaya yang saling menguatkan sehingga tak seorang pun dibiarkan berjalan sendiri.

Melayani berarti memberi diri, waktu, untuk mereka yang dilayani, daripada mendahulukan kepentingan diri sendiri. Di dalam melayani ada pengajaran, didikan, dan tindakan, serta menolong sesama yang menderita dan berbeban berat. Yesus dalam pembacaan ini menunjukkan bahwa melayani tidak hanya terkait dengan perkataan dan tindakan, melainkan berkaitan juga dengan hati. Pada ayat 36 dikatakan ...tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan...Artinya, melayani juga perlu menggunakan hati agar dapat berbela rasa dengan sesama yang menderita. Yesus menunjukkan sikap berbela rasa dalam pelayanan yang dilakukannya. Dengan berbela rasa, kita dapat merasakan dan memahami penderitaan orang lain, sehingga tidak mudah untuk menghakimi. Karena itu, diperlukan mereka yang dapat melayani dengan sepenuh hati. Memang tidak mudah mendapatkan mereka yang mau melayani dalam ketaatan, kesetiaan, dan ketulusan, sebab itu Yesus katakan tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit.

7. Penutup

Yesus yang melihat dan tergerak memanggil kita melanjutkan karya-Nya: menghadirkan kasih, menanam firman, menyentuh luka. Inilah panggilan: melayani, karena hati-Nya lebih dulu melayani kita.

Di era teknologi yang semakin canggih mempermudah untuk memperoleh berbagai informasi, mulai dari yang menyenangkan sampai mengenaskan. Kecanggihan teknologi juga mempermudah untuk berbagi dan berbela rasa dengan sesama, sebagaimana yang dilakukan Yesus. Di minggu adven ini, kita diingatkan akan kasih Kristus yang tiada berkesudahan bagi umat-Nya. Oleh sebab itu, setiap kita terpanggil untuk melayani dalam kesetiaan, ketaatan, dan ketulusan.

Doa: Ya Tuhan mampukanlah kami untuk terus dapat menjadi berkat bagi banyak orang.Amin. 

Fungsionaris Majelis Sinode XXII GPIB

 Majelis Sinode GPIB Masa Bakti 2025–2030

Ketua Umum: Pdt. Nitis Putrasana HARSONO, M.Th.
Ketua I: Pdt. Henry Teddy TAMAELA
Ketua II: Pdt. Semuel A. Zacharias KARINDA
Ketua III: Pdt. Sarah Martha Yuliana TAHITU-HENGKESAahitu-Hengkesa
Ketua IV: Penatua Wicklief F. Luwy LEUNUFNA, S.Hut.
Ketua V: Penatua Maxi Djelot Alierbitu HAYER
Sekretaris Umum: Pdt. Ebser Mago LALENOH
Sekretaris I: Pdt. Emmawati Yulia RUMAMPUK - BAULE, S.Th., M.Min.
Sekretaris II: Penatua Ivan Gelium LANTU, S.H., M.Kn.
Bendahara: Penatua Stephen TUNAS
Bendahara I: Penatua Gabby G.M. SADOEK

Badan Pemeriksa Perbendaharaan Gereja (BPPG) Terpilih
Penatua Boyke SIAGIAN
Penatua Rico SIHOMBING
Penatua Levania SANTOSO



DIPANGGIL UNTUK MELAYANI

Minggu 30 November 2025

HARI MINGGU ADVEN I

Bacaan Matius 9: 35-38

PENDAHULUAN

Injil Matius merupakan kitab pertama dalam Injil Sinoptik yang ditulis oleh Matius. Injil Matius memiliki gaya penulisan yang agak kaku, lebih pendek, dan padat. Tema sentral dari Injil Matius adalah soal penggenapan, manusia, dan komuni-tas. Selain itu, Injil Matius dapat dikatakan sebagai Injil Pengajaran yang mengajarkan tentang sejarah Yesus, serta pengajaran-Nya. Lebih lanjut, tema sentral pengajaran Yesus adalah mengenai Kerajaan Allah, sebab itu dalam pengajarannya Yesus lebih banyak berinteraksi dengan kaum marginal yang mendapat perlakukan tidak baik dari pemerintah Roma maupun para pemuka agama.

Dalam tulisan Warren Carter yang berjudul The Roman Empire and The New Testament: An Essential Guide, menunjukkan bahwa beriman kepada Yesus -yang dijalani oleh para murid-murid Yesus saat itu terjadi di tengah budaya sehari-hari yang dipraktikkan di Kerajaan Roma. Misalnya, masyarakat diwajibkan untuk tunduk dan takluk pada Kaisar, mereka diajar untuk lebih takut pada penguasa, dan mengabaikan orang-orang marginal. Praktik hidup yang demikian sangat memengaruhi pola pikir dan perilaku dari para murid, ketika mereka mengikut Yesus. Apa yang dipraktikkan oleh Kerajaan Roma pada waktu itu, sangat berbeda dengan konsep Kerajaan Surga yang ditawarkan Yesus. Yesus menawarkan sebuah konsep yang mengajarkan dan memperlihatkan bagaimana menjalani kehidupan dengan saling berbela rasa dengan sesama.

PEMAHAMAN KONTEKS

Kehidupan orang banyak yang mengikuti Yesus pada waktu itu, hampir sebagian besar merupakan kaum marginal yang membutuhkan perhatian dan pertolongan. Mereka tidak mendapat perhatian pemerintah Roma, melainkan mereka dipinggirkan, diasingkan, bahkan mendapat tekanan dari pemerintah Roma. Keadaan dan kondisi yang demikian mendapat perhatian Yesus dalam pelayanan-Nya. Salah satu konsep Kerajaan Surga yang ditawarkan Yesus dalam pelaya-nannya adalah belas kasihan atau berbela rasa. Konsep pela-yanan inilah yang hendak diajarkan kepada para murid untuk perhatian dan peduli dengan sesama. Mereka dipersiapkan untuk melayani sesama dalam ketulusan dan tidak mementingkan diri sendiri.

PENDALAMAN TEKS

Matius 9:35-38 menekankan mengenai pelayanan yang dilakukan oleh Yesus bersama para murid yang berjalan berkeliling semua kota dan desa untuk mengajar dan memberitakan Injil Kerajaan Surga.

Ayat 35 

Dari ayat ini, kita belajar bagaimana cara Yesus melakukan pelayanan dan apa yang menjadi tujuan utama dari pelayanan yang dilakukan-Nya. Pertama, pengajaran. Yesus memberi pengajaran tentang Kerajaan Surga kepada orang banyak agar mereka memahami Kerajaan Surga yang sesungguhnya. Tanpa pemahaman yang benar, maka sulit untuk memahami konsep Kerajaan Surga yang dimaksudkan Yesus. Selain pengajaran, Yesus menunjukkan kepedulian-Nya dengan menolong dan menyembuhkan mereka yang menderita sakit penyakit. Ada tindakan nyata yang dilakukan dalam pelayanan-Nya. Sederhananya, yang Yesus ajarkan, itulah yang dilakukan-Nya. Di pihak lain, Yesus sedang mengajarkan para murid bagaimana caranya melayani yang baik dan benar.

Ayat 36 

Pada bagian ini, Yesus juga ingin menegaskan bahwa melayani hendaknya dilakukan dengan sepenuh hati. Hati yang mengasihi Allah yang dinyatakan melalui menolong sesama. Belas kasihan atau berbela rasa menjadi salah satu metode pelayanan yang dilakukan Yesus untuk dilakukan dalam melayani sesama. Selain itu, Yesus melihat bahwa yang dibutuhkan oleh orang banyak bukan hanya masalah makanan dan penyakit, melainkan perhatian dan kepeduliaan yang menyentuh hati mereka. Mereka membutuhkan bimbingan dan pendampingan dalam menghadapi berbagai tantangan dan pergumulan hidup.

Ayat 37-38

Pada kedua ayat ini jelas menunjukkan bahwa pemerintah maupun para pemuka agama pada saat itu tidak peduli kepada kaum marginal. Mereka hanya mengutamakan kepentingan mereka. Oleh sebab itu, apa yang dikatakan Yesus mengenai tuaian dan pekerja, mengarah pada keadaan yang sebenarnya bahwa banyak orang yang membutuhkan pertolongan, namun tidak semua orang dapat memberi diri dengan tulus dalam melayani mereka. Oleh sebab itu, para murid dipersiapkan agar mereka dapat melanjutkan pelayanan Yesus dalam melayani sesama dalam ketulusan, kesetiaan, dan ketaatan.

CONTOH KHОТВАН

Setiap orang terpanggil untuk melayani, namun tidak semua orang tahan uji dalam melayani. Karena itu, hanya orang-orang pilihan yang dapat melayani dalam ketaatan, kesetiaan, dan ketulusan. Tanpa ketiga hal ini, maka pelayanan yang dilakukan semata hanya untuk menyenangkan hati manusia, terlebih untuk mendapat pujian. Oleh sebab itu, setiap orang perlu belajar untuk memahami dengan baik arti dari melayani yang sesungguhnya.

Melayani berarti memberi diri, waktu, untuk mereka yang dilayani, daripada mendahulukan kepentingan diri sendiri. Di dalam melayani ada pengajaran, didikan, dan tindakan, serta menolong sesama yang menderita dan berbeban berat. Yesus dalam pembacaan ini menunjukkan bahwa melayani tidak hanya terkait dengan perkataan dan tindakan, melainkan berkaitan juga dengan hati. Pada ayat 36 dikatakan ...tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan... Artinya, melayani juga perlu menggunakan hati agar dapat berbela rasa dengan sesama yang menderita. Yesus menunjukkan sikap berbela rasa dalam pelayanan yang dilakukannya. Dengan berbela rasa, kita dapat merasakan dan memahami penderitaan orang lain, sehingga tidak mudah untuk menghakimi. Karena itu, diperlukan mereka yang dapat melayani dengan sepenuh hati. Memang tidak mudah mendapatkan mereka yang mau melayani dalam ketaatan, kesetiaan, dan ketulusan, sebab itu Yesus katakan tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit.

APLIKASI

Di era teknologi yang semakin canggih mempermudah untuk memeroleh berbagai informasi, mulai dari yang menyenangkan sampai mengenaskan. Kecanggihan teknologi juga mempermudah untuk berbagi dan berbela rasa dengan sesama, sebagaimana yang dilakukan Yesus. Meskipun demikian, hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah kesungguhan hati dalam melayani. Di minggu adven ini, diingatkan akan kasih Kristus yang tiada berkesudahan bagi umat-Nya. Oleh sebab itu, setiap kita terpanggil untuk melayani dalam kesetiaan, ketaatan, dan ketulusan.

PENUTUP

Dengan demikian, pelayanan bukan masalah suka melayani, tetapi lebih dari itu perlu memiliki sikap berbela rasa atau belas kasihan yang tulus kepada sesama. Melayani bukan untuk dilihat dan dipuji orang, melainkan untuk menyenangkan hati Tuhan yang telah memercayakan pelayanan. DKT/veth

GPIB 77 TAHUN DAN KEPEMIMPINAN ERA BARU

  Oleh: Pdt. Pauline Patricia Lagonda, M.Th


PENDAHULUAN

Tahun 2025 menandai usia ke-77 Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB), sebuah tonggak yang mengajak kita untuk bersyukur atas penyertaan Tuhan yang setia dalam perjalanan gereja ini sejak tahun 1948. Di tengah tantangan zaman yang terus berubah-baik secara sosial, politik, ekonomi, maupun teknologi-GPIB tetap berupaya menjadi gereja yang relevan, kontekstual, dan tetap setia pada panggilannya sebagai terang dan garam dunia. Peringatan 77 tahun bukan hanya momentum untuk melihat ke belakang dan mengenang sejarah, tetapi juga saat yang penting untuk menatap ke depan. Dunia dan masyarakat kini hidup dalam realitas era baru, yang ditandai oleh percepatan teknologi digital, krisis iklim, tantangan demokrasi, dan tuntutan kepemimpinan yang lebih transformatif dan kolaboratif. Dalam konteks ini, GPIB ditantang untuk melahirkan dan mendampingi kepemimpinan gereja yang adaptif, inklusif, dan visioner.

Pada usia yang ke-77 tahun, GPIB terus melangkah di tengah perubahan zaman dengan panggilan untuk tetap setia pada Kristus dan menjadi terang di tengah dunia. GPIB dipanggil untuk terus memperbarui penghayatan atas panggilan gerejawi khususnya dalam semangat Sun Hodos, sebuah prinsip yang mencerminkan kebersamaan dalam perjalanan iman. Tulisan ini mencoba merenungkan bagaimana GPIB merespons tantangan kepemimpinan di era baru ini, dengan tetap berakar pada spiritualitas pelayanan, keutuhan kesaksian, dan panggilan profetis yang menjadi ciri gereja sejak awal.


TANTANGAN BERGEREJA SAAT INI

Di tengah perubahan zaman yang begitu cepat, gereja menghadapi berbagai tantangan yang tidak bisa diabaikan. Dunia bergerak dengan ritme digital, budaya semakin cair, dan nilai-nilai iman seringkali dipertanyakan oleh generasi muda. Di sinilah gereja ditantang untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga untuk tetap relevan dan transformatif. Adapun tantangan-tantangan tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

Kemajuan teknologi telah mengubah cara orang berkomunikasi, belajar, bahkan beribadah. Gereja tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan konvensional semata. Ibadah daring, pelayanan digital, dan konten-konten spiritual yang kreatif menjadi kebutuhan, bukan sekadar tambahan. Namun tantangannya bukan hanya soal media, melainkan bagaimana menghadirkan firman yang hidup dalam dunia digital yang serba cepat dan dangkal.

Banyak gereja mengalami kesulitan dalam regenerasi pelayan dan pemimpin. Di satu sisi, generasi tua masih kuat memegang kendali; di sisi lain, generasi muda merasa tidak didengar. Gereja ditantang untuk membangun jembatan antar generasi membuka ruang dialog, berbagi visi, dan mempercayakan tanggung jawab. Persoalan lainnya adalah terkait kepemimpinan. Idealnya, kepemimpinan gerejawi tidak boleh stagnan; ha harus bergerak dinamis dengan melibatkan semua kalangan. Budaya individualistik dan gaya hidup sibuk membuat banyak orang enggan terlibat aktif dalam persekutuan. Gereja menghadapi kenyataan bahwa semakin banyak warga jemaat hadir hanya sebagai penonton bukan sebagai pelaku. Tantangannya adalah menghidupkan kembali spiritualitas kebersamaan (koinonia) yang tidak hanya terjadi di gedung gereja, tapi juga di kehidupan sehari-hari.

Di tengah-tengah jemaat perkotaan, gereja sering kali terjebak pada rutinitas ritual dan melupakan perannya sebagai garam dan terang dunia. Ketidakadilan, kemiskinan, krisis lingkungan, dan intoleransi adalah realitas sosial yang mendesak. Pertanyaannya, apakah gereja cukup berani menyuarakan kebenaran dan melakukan aksi nyata, atau justru memilih diam demi kenyamanan?

Di tengah banyaknya aktivitas gereja, ada kekhawatiran bahwa spiritualitas jemaat menjadi dangkal dan me mekanis. Di sinilah panggilan gereja menjadi nyata yaitu untuk menolong warga jemaat mengalami perjumpaan yang nyata dengan Kristus, bukan sekadar menjalani rutinitas keagamaan.

Dengan ragam tantangan yang dihadapi gereja masa kini, GPIB hendak menghayati kembali kehadirannya yang relevan dengan semangat Sun Hodos Satu untuk GPIB.


KEPEMIMPINAN DI ERA BARU

Perkembangan studi kepemimpinan dalam konteks organisasi pada abad ke-21 menunjukkan dinamika yang menarik. Salah satu tokoh penting, Rost, dalam bukunya Leadership for the Twenty-first Century, meneliti konsep kepemimpinan dari tahun 1900 hingga 1980-an dan menyimpulkan bahwa pemahaman kepemimpinan telah bergeser dari fokus pada kekuasaan menuju pengaruh (Rost, 1991). Selain itu, survei Global Leadership and Organization Behaviour Effectiveness (GLOBE) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan individu dalam memengaruhi, memotivasi, dan memberdayakan orang lain untuk berkontribusi terhadap efektivitas organisasi (Dorfman & House, 2004, hlm. 56). Pemahaman yang lebih sederhana disampaikan oleh Northouse, yang menyatakan bahwa kepemimpinan adalah proses di mana seseorang memengaruhi kelompok untuk mencapai tujuan tertentu (Northouse, 2016, hlm. 6).

Dalam kajian kepemimpinan, terdapat berbagai pendekatan yang dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian. Salah satunya adalah pendekatan yang berfokus pada pemimpin, dengan menyoroti sifat, keterampilan, gaya, serta keaslian pemimpin. Pendekatan ini, terutama dalam aspek sifat, menilai atribut-atribut khas yang sering dimiliki oleh seorang pemimpin, seperti kecerdasan, kepercayaan diri, keteguhan, integritas, dan kemampuan interpersonal (Northouse, 2016, hlm. 23). Di antara sifat-sifat tersebut, integritas dianggap sebagai yang paling mendasar. Bauman memberikan pemahaman yang mendalam tentang integritas melalui tiga kategori utama: pertama, integritas substantif yang mengacu pada nilai-nilai universal seperti kejujuran, penghargaan, keadilan, dan kepercayaan; kedua, integritas formal yang berkaitan dengan nilai-nilai suatu kelompok tertentu; dan ketiga, integritas personal yang berpijak pada nilai-nilai pribadi seseorang (Bauman, 2013, hlm.422-423).

Integritas dalam kepemimpinan gereja bukan sekadar kejujuran atau tidak korupsi. la adalah kesatuan utuh antara apa yang diyakini, dikatakan, dan dilakukan. Pemimpin gereja yang berintegritas adalah pribadi yang hidupnya selaras dengan nilai-nilai Injil-hidup dalam kasih, keadilan, kerendahan hati, dan keteladanan. Integritas juga berarti memimpin bukan demi kepentingan diri, melainkan demi pelayanan kepada Kristus dan umat-Nya. Yesus Kristus adalah teladan kepemimpinan yang paling sempurna. la tidak memimpin dengan paksaan, tetapi dengan kasih dan pelayanan. la tidak mencari pujian. tetapi rela merendahkan diri. Dalam diri Kristus, kita melihat bahwa integritas bukan tentang pencapaian, tetapi tentang kesetiaan-bahkan sampai mati di kayu salib.


MENYUSURI KEMBALI MAKNA SUN HODOS BAGI GPIB

GPIB menganut sistem dan bentuk kepemimpinan Presbiterial Sinodal, yang berasal dari kata Yunani presbiteros (tua-tua/penatua), sun (bersama), dan hodos (jalan). Artinya, gereja dipimpin oleh para presbiter-yakni para pelayan khusus yang berjalan, berpikir, dan bertindak secara kolektif dalam menjalankan panggilan gereja yang misioner. Sistem ini berakar dari tradisi gereja Calvinis. Dalam GPIB, yang dimaksud dengan presbiter mencakup diaken, penatua, pendeta, serta penginjil (untuk daerah Pekabaran Injil). Namun sejak tahun 1992, jabatan penginjil tidak lagi digunakan karena semua penginjil telah dialihkan menjadi pendeta.

Sepanjang perjalanan gereja, para presbiter dipanggil dan diutus untuk memimpin dan melayani bersama. Kebersamaan ini tidak lahir dari keinginan pribadi atau keterpaksaan, melainkan karena adanya satu misi Kristus yang menyatukan. Dalam semangat tersebut, para presbiter berjalan, berdiskusi, bekerja, dan bersaksi secara bersama untuk membangun persekutuan yang hidup. Sistem Presbiterial Sinodal menekankan bahwa para presbiter yang terpanggil bersama-sama menentukan arah dan kebijakan gereja, melalui wadah-wadah seperti Majelis Jemaat, Persidangan Sinode, dan Majelis Sinode. Kebersamaan ini sangat nyata dalam kehidupan gereja sehari-hari, khususnya dalam interaksi antara jemaat (yang diwakili Majelis Jemaat) dan pimpinan gereja (Majelis Sinode). Sistem ini menumbuhkan relasi timbal balik yang dinamis antara keduanya.

Proses pemanggilan presbiter dalam GPIB dilakukan melalui pemilihan terbuka bagi diaken dan penatua, sedangkan bagi calon pendeta melalui jalur pendidikan teologi dan masa vikariat. Meski diaken dan penatua dipilih oleh jemaat, mereka tidak sekadar menjadi "wakil jemaat" yang bertanggung jawab secara struktural kepada pemilihnya. Mereka tetap terikat secara moral kepada jemaat atas dasar kepercayaan dan relasi penggembalaan. Dalam pelayanannya, para presbiter melayani bersama dalam ikatan Majelis Jemaat.

Istilah Yunani sun hodos berarti "berjalan bersama di jalan yang sama." Ini lebih dari sekadar kebersamaan secara fisik atau administratif. Sun hodos menuntut adanya kesatuan hati, visi, dan misi. Dalam konteks GPIB, ini berarti berjalan bersama dalam pelayanan lintas budaya, suku, dan wilayah geografis yang luas, dengan dasar kesetiaan kepada Kristus. kepala Gereja. Dalam konteks gereja yang majemuk seperti GPIB, sun hodos menjadi prinsip pemersatu yang esensial. Persekutuan tidak akan utuh tanpa kesediaan untuk saling memahami, mengalah, dan memperkuat satu sama lain. Persekutuan yang sejati lahir dari relasi yang dibangun dalam kasih, bukan dominasi atau ego. Dalam sun hodos, tidak ada yang berjalan sendirian atau merasa lebih utama. Semua dipanggil untuk saling menopang.

REFLEKSI

Pada usianya yang ke-77, Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) terus menapaki sejarah panjang yang penuh dinamika, tantangan, dan penyertaan Tuhan. Angka 77 bukan hanya mencerminkan umur, tetapi menjadi simbol perjalanan panjang gereja yang telah melewati berbagai zaman dari era pascakemerdekaan hingga era digital saat ini. GPIB lahir dalam konteks sejarah bangsa yang sedang membangun jati diri. la menjadi wadah persekutuan umat yang tersebar luas, beragam latar belakang, namun bersatu dalam satu tubuh Kristus. Kini, gereja menghadapi tantangan zaman yang berbeda dunia yang cepat berubah, generasi yang berpikir kritis, serta arus globalisasi yang memengaruhi cara hidup, berpikir, bahkan beriman.

Di tengah itu semua, GPIB dipanggil untuk tetap setia pada panggilannya: membangun persekutuan, melayani dengan kasih, dan menjadi saksi Kristus di tengah masyarakat. Kesetiaan ini harus diterjemahkan dalam cara baru yang relevan, tanpa kehilangan akar spiritualitasnya. Tantangan utama di era ini adalah soal kepemimpinan. Kepemimpinan gereja tidak lagi cukup hanya berbicara tentang struktur dan jabatan, tetapi tentang karakter dan pengaruh. GPIB telah berjalan sejauh ini bukan karena kuat dan hebat manusia, tetapi karena kasih setia Tuhan. Maka, dalam menyongsong tahun-tahun ke depan, gereja ini perlu terus dipimpin oleh Roh Kudus, dibarui dalam visi, dan dikuatkan dalam semangat misi. Kita tidak dipanggil untuk bernostalgia, tetapi untuk melanjutkan karya. Kita tidak diminta hanya menjaga warisan, tetapi juga menciptakan lompatan.

Dalam semangat Sun Hodos-berjalan bersama-mari kita melayani bersama, memimpin bersama, dan bertumbuh bersama dalam Kristus. Dirgahayu GPIB ke-77! Semoga gereja ini terus menjadi alat di tangan Tuhan untuk menjangkau dunia, membangun persekutuan, dan melayani dengan kasih yang tak pernah padam.

"Solus Christus, Soli Deo Gloria."




DOA; sangat besar kuasanya

YESUS MEMBUATMU BERHARGA