Oleh: Pdt. Pauline Patricia Lagonda, M.Th
PENDAHULUAN
Tahun 2025 menandai usia ke-77 Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB), sebuah tonggak yang mengajak kita untuk bersyukur atas penyertaan Tuhan yang setia dalam perjalanan gereja ini sejak tahun 1948. Di tengah tantangan zaman yang terus berubah-baik secara sosial, politik, ekonomi, maupun teknologi-GPIB tetap berupaya menjadi gereja yang relevan, kontekstual, dan tetap setia pada panggilannya sebagai terang dan garam dunia. Peringatan 77 tahun bukan hanya momentum untuk melihat ke belakang dan mengenang sejarah, tetapi juga saat yang penting untuk menatap ke depan. Dunia dan masyarakat kini hidup dalam realitas era baru, yang ditandai oleh percepatan teknologi digital, krisis iklim, tantangan demokrasi, dan tuntutan kepemimpinan yang lebih transformatif dan kolaboratif. Dalam konteks ini, GPIB ditantang untuk melahirkan dan mendampingi kepemimpinan gereja yang adaptif, inklusif, dan visioner.
Pada usia yang ke-77 tahun, GPIB terus melangkah di tengah perubahan zaman dengan panggilan untuk tetap setia pada Kristus dan menjadi terang di tengah dunia. GPIB dipanggil untuk terus memperbarui penghayatan atas panggilan gerejawi khususnya dalam semangat Sun Hodos, sebuah prinsip yang mencerminkan kebersamaan dalam perjalanan iman. Tulisan ini mencoba merenungkan bagaimana GPIB merespons tantangan kepemimpinan di era baru ini, dengan tetap berakar pada spiritualitas pelayanan, keutuhan kesaksian, dan panggilan profetis yang menjadi ciri gereja sejak awal.
TANTANGAN BERGEREJA SAAT INI
Di tengah perubahan zaman yang begitu cepat, gereja menghadapi berbagai tantangan yang tidak bisa diabaikan. Dunia bergerak dengan ritme digital, budaya semakin cair, dan nilai-nilai iman seringkali dipertanyakan oleh generasi muda. Di sinilah gereja ditantang untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga untuk tetap relevan dan transformatif. Adapun tantangan-tantangan tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
Kemajuan teknologi telah mengubah cara orang berkomunikasi, belajar, bahkan beribadah. Gereja tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan konvensional semata. Ibadah daring, pelayanan digital, dan konten-konten spiritual yang kreatif menjadi kebutuhan, bukan sekadar tambahan. Namun tantangannya bukan hanya soal media, melainkan bagaimana menghadirkan firman yang hidup dalam dunia digital yang serba cepat dan dangkal.
Banyak gereja mengalami kesulitan dalam regenerasi pelayan dan pemimpin. Di satu sisi, generasi tua masih kuat memegang kendali; di sisi lain, generasi muda merasa tidak didengar. Gereja ditantang untuk membangun jembatan antar generasi membuka ruang dialog, berbagi visi, dan mempercayakan tanggung jawab. Persoalan lainnya adalah terkait kepemimpinan. Idealnya, kepemimpinan gerejawi tidak boleh stagnan; ha harus bergerak dinamis dengan melibatkan semua kalangan. Budaya individualistik dan gaya hidup sibuk membuat banyak orang enggan terlibat aktif dalam persekutuan. Gereja menghadapi kenyataan bahwa semakin banyak warga jemaat hadir hanya sebagai penonton bukan sebagai pelaku. Tantangannya adalah menghidupkan kembali spiritualitas kebersamaan (koinonia) yang tidak hanya terjadi di gedung gereja, tapi juga di kehidupan sehari-hari.
Di tengah-tengah jemaat perkotaan, gereja sering kali terjebak pada rutinitas ritual dan melupakan perannya sebagai garam dan terang dunia. Ketidakadilan, kemiskinan, krisis lingkungan, dan intoleransi adalah realitas sosial yang mendesak. Pertanyaannya, apakah gereja cukup berani menyuarakan kebenaran dan melakukan aksi nyata, atau justru memilih diam demi kenyamanan?
Di tengah banyaknya aktivitas gereja, ada kekhawatiran bahwa spiritualitas jemaat menjadi dangkal dan me mekanis. Di sinilah panggilan gereja menjadi nyata yaitu untuk menolong warga jemaat mengalami perjumpaan yang nyata dengan Kristus, bukan sekadar menjalani rutinitas keagamaan.
Dengan ragam tantangan yang dihadapi gereja masa kini, GPIB hendak menghayati kembali kehadirannya yang relevan dengan semangat Sun Hodos Satu untuk GPIB.
KEPEMIMPINAN DI ERA BARU
Perkembangan studi kepemimpinan dalam konteks organisasi pada abad ke-21 menunjukkan dinamika yang menarik. Salah satu tokoh penting, Rost, dalam bukunya Leadership for the Twenty-first Century, meneliti konsep kepemimpinan dari tahun 1900 hingga 1980-an dan menyimpulkan bahwa pemahaman kepemimpinan telah bergeser dari fokus pada kekuasaan menuju pengaruh (Rost, 1991). Selain itu, survei Global Leadership and Organization Behaviour Effectiveness (GLOBE) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan individu dalam memengaruhi, memotivasi, dan memberdayakan orang lain untuk berkontribusi terhadap efektivitas organisasi (Dorfman & House, 2004, hlm. 56). Pemahaman yang lebih sederhana disampaikan oleh Northouse, yang menyatakan bahwa kepemimpinan adalah proses di mana seseorang memengaruhi kelompok untuk mencapai tujuan tertentu (Northouse, 2016, hlm. 6).
Dalam kajian kepemimpinan, terdapat berbagai pendekatan yang dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian. Salah satunya adalah pendekatan yang berfokus pada pemimpin, dengan menyoroti sifat, keterampilan, gaya, serta keaslian pemimpin. Pendekatan ini, terutama dalam aspek sifat, menilai atribut-atribut khas yang sering dimiliki oleh seorang pemimpin, seperti kecerdasan, kepercayaan diri, keteguhan, integritas, dan kemampuan interpersonal (Northouse, 2016, hlm. 23). Di antara sifat-sifat tersebut, integritas dianggap sebagai yang paling mendasar. Bauman memberikan pemahaman yang mendalam tentang integritas melalui tiga kategori utama: pertama, integritas substantif yang mengacu pada nilai-nilai universal seperti kejujuran, penghargaan, keadilan, dan kepercayaan; kedua, integritas formal yang berkaitan dengan nilai-nilai suatu kelompok tertentu; dan ketiga, integritas personal yang berpijak pada nilai-nilai pribadi seseorang (Bauman, 2013, hlm.422-423).
Integritas dalam kepemimpinan gereja bukan sekadar kejujuran atau tidak korupsi. la adalah kesatuan utuh antara apa yang diyakini, dikatakan, dan dilakukan. Pemimpin gereja yang berintegritas adalah pribadi yang hidupnya selaras dengan nilai-nilai Injil-hidup dalam kasih, keadilan, kerendahan hati, dan keteladanan. Integritas juga berarti memimpin bukan demi kepentingan diri, melainkan demi pelayanan kepada Kristus dan umat-Nya. Yesus Kristus adalah teladan kepemimpinan yang paling sempurna. la tidak memimpin dengan paksaan, tetapi dengan kasih dan pelayanan. la tidak mencari pujian. tetapi rela merendahkan diri. Dalam diri Kristus, kita melihat bahwa integritas bukan tentang pencapaian, tetapi tentang kesetiaan-bahkan sampai mati di kayu salib.
MENYUSURI KEMBALI MAKNA SUN HODOS BAGI GPIB
GPIB menganut sistem dan bentuk kepemimpinan Presbiterial Sinodal, yang berasal dari kata Yunani presbiteros (tua-tua/penatua), sun (bersama), dan hodos (jalan). Artinya, gereja dipimpin oleh para presbiter-yakni para pelayan khusus yang berjalan, berpikir, dan bertindak secara kolektif dalam menjalankan panggilan gereja yang misioner. Sistem ini berakar dari tradisi gereja Calvinis. Dalam GPIB, yang dimaksud dengan presbiter mencakup diaken, penatua, pendeta, serta penginjil (untuk daerah Pekabaran Injil). Namun sejak tahun 1992, jabatan penginjil tidak lagi digunakan karena semua penginjil telah dialihkan menjadi pendeta.
Sepanjang perjalanan gereja, para presbiter dipanggil dan diutus untuk memimpin dan melayani bersama. Kebersamaan ini tidak lahir dari keinginan pribadi atau keterpaksaan, melainkan karena adanya satu misi Kristus yang menyatukan. Dalam semangat tersebut, para presbiter berjalan, berdiskusi, bekerja, dan bersaksi secara bersama untuk membangun persekutuan yang hidup. Sistem Presbiterial Sinodal menekankan bahwa para presbiter yang terpanggil bersama-sama menentukan arah dan kebijakan gereja, melalui wadah-wadah seperti Majelis Jemaat, Persidangan Sinode, dan Majelis Sinode. Kebersamaan ini sangat nyata dalam kehidupan gereja sehari-hari, khususnya dalam interaksi antara jemaat (yang diwakili Majelis Jemaat) dan pimpinan gereja (Majelis Sinode). Sistem ini menumbuhkan relasi timbal balik yang dinamis antara keduanya.
Proses pemanggilan presbiter dalam GPIB dilakukan melalui pemilihan terbuka bagi diaken dan penatua, sedangkan bagi calon pendeta melalui jalur pendidikan teologi dan masa vikariat. Meski diaken dan penatua dipilih oleh jemaat, mereka tidak sekadar menjadi "wakil jemaat" yang bertanggung jawab secara struktural kepada pemilihnya. Mereka tetap terikat secara moral kepada jemaat atas dasar kepercayaan dan relasi penggembalaan. Dalam pelayanannya, para presbiter melayani bersama dalam ikatan Majelis Jemaat.
Istilah Yunani sun hodos berarti "berjalan bersama di jalan yang sama." Ini lebih dari sekadar kebersamaan secara fisik atau administratif. Sun hodos menuntut adanya kesatuan hati, visi, dan misi. Dalam konteks GPIB, ini berarti berjalan bersama dalam pelayanan lintas budaya, suku, dan wilayah geografis yang luas, dengan dasar kesetiaan kepada Kristus. kepala Gereja. Dalam konteks gereja yang majemuk seperti GPIB, sun hodos menjadi prinsip pemersatu yang esensial. Persekutuan tidak akan utuh tanpa kesediaan untuk saling memahami, mengalah, dan memperkuat satu sama lain. Persekutuan yang sejati lahir dari relasi yang dibangun dalam kasih, bukan dominasi atau ego. Dalam sun hodos, tidak ada yang berjalan sendirian atau merasa lebih utama. Semua dipanggil untuk saling menopang.
REFLEKSI
Pada usianya yang ke-77, Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) terus menapaki sejarah panjang yang penuh dinamika, tantangan, dan penyertaan Tuhan. Angka 77 bukan hanya mencerminkan umur, tetapi menjadi simbol perjalanan panjang gereja yang telah melewati berbagai zaman dari era pascakemerdekaan hingga era digital saat ini. GPIB lahir dalam konteks sejarah bangsa yang sedang membangun jati diri. la menjadi wadah persekutuan umat yang tersebar luas, beragam latar belakang, namun bersatu dalam satu tubuh Kristus. Kini, gereja menghadapi tantangan zaman yang berbeda dunia yang cepat berubah, generasi yang berpikir kritis, serta arus globalisasi yang memengaruhi cara hidup, berpikir, bahkan beriman.
Di tengah itu semua, GPIB dipanggil untuk tetap setia pada panggilannya: membangun persekutuan, melayani dengan kasih, dan menjadi saksi Kristus di tengah masyarakat. Kesetiaan ini harus diterjemahkan dalam cara baru yang relevan, tanpa kehilangan akar spiritualitasnya. Tantangan utama di era ini adalah soal kepemimpinan. Kepemimpinan gereja tidak lagi cukup hanya berbicara tentang struktur dan jabatan, tetapi tentang karakter dan pengaruh. GPIB telah berjalan sejauh ini bukan karena kuat dan hebat manusia, tetapi karena kasih setia Tuhan. Maka, dalam menyongsong tahun-tahun ke depan, gereja ini perlu terus dipimpin oleh Roh Kudus, dibarui dalam visi, dan dikuatkan dalam semangat misi. Kita tidak dipanggil untuk bernostalgia, tetapi untuk melanjutkan karya. Kita tidak diminta hanya menjaga warisan, tetapi juga menciptakan lompatan.
Dalam semangat Sun Hodos-berjalan bersama-mari kita melayani bersama, memimpin bersama, dan bertumbuh bersama dalam Kristus. Dirgahayu GPIB ke-77! Semoga gereja ini terus menjadi alat di tangan Tuhan untuk menjangkau dunia, membangun persekutuan, dan melayani dengan kasih yang tak pernah padam.
"Solus Christus, Soli Deo Gloria."

Tidak ada komentar :
Posting Komentar