PENGANTAR
Salah satu yang disoroti oleh kitab
Amsal adalah bahwa orang harus berhikmat agar dapat mengelola hartanya
dengan benar, sebab tanpa hikmat harta hanya akan menimbulkan masalah.
Tuhan tidak pernah melarang kita untuk memiliki harta benda dan kekayaan
karena itu juga adalah karunia Tuhan. Kita tidak disuruh menjauhkan
harta benda. Sebaliknya, kita diajak untuk mengelolanya dengan benar
sehingga bisa menjadi berkat, baik bagi hidup kita sendiri, bagi orang
lain dan bagi pekerjaan Tuhan. Kalau nas ini mengajak kita untuk
memuliakan Tuhan dengan harta maka yang dimuliakan bukan hartanya,
tetapi Tuhan, sang Pemberi. Hal ini melegakan sekaligus menegangkan.
Melegakan oleh karena di satu sisi berarti hartabenda juga berharga di
mata Tuhan, bukan hanya doa, iman, kesalehan, perbuatan baik, dan
hal-hal terpuji lainnya. Di sisi lain yang menegangkan adalah karena
biasanya apa yang sudah 'masuk' susah untuk 'keluar' lagi.
TELAAH PERIKOP
Sejak zaman nenek moyang Israel, umat
diajarkan untuk mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan, baik hasil bumi,
hewan, bahkan persepuluhan. Itu bukan karena Tuhan ingin meminta kembali
apa yang sudah Ia berikan, tapi karena dua alasan. Pertama, karena di
dalam berkat yang diterima ada hak Tuhan yang harus disisihkan dan
dikhususkan dari situ. Kedua, agar umat tahu bersyukur atas pemeliharaan
Tuhan. Setiap pemberian harus dilandasi rasa syukur, ini yang penting.
Kalau begitu memuliakan Tuhan dengan harta adalah sebuah tindakan iman,
dan karena itu bila dikatakan bahwa "lumbung-lumbungmu akan diisi penuh
sampai melimpah-limpah" harus diimani juga sebagai janji Tuhan yang
pasti. Masalahnya sekarang, kita suka kuatir dalam memberi kepada Tuhan.
Padahal kalau kita mau jujur, ada banyak pengeluaran kita dalam sebulan
yang tidak ada 'budget'nya seperti makan di restoran, mentraktir orang,
beli ini dan itu, ikut arisan sana-sini, tapi itu tidak jadi soal bagi
kita. Mengapa kita mesti berhitung ketika memberi persembahan, apalagi
memberi persepuluhan dengan jujur? Mengapa kita tidak berani membuktikan
kebenaran janji Tuhan itu? Memang ini soal iman dan kalau mau bertumbuh
dalam iman kita harus segera memperbaiki pemahaman kita tentang
memberi. Jangan kita merekayasa ayat ini dengan menganggap memuliakan
Tuhan cukup dengan mulut yang memuji, hati yang besyukur, atau rajin
berbuat baik. Itu saja! Kalau mesti memberi sesuai berkat yang diterima,
"sekedarnya saja!" Bukan karena kita tidak mampu, tapi karena tidak
mau. Lama-lama orang tanpa sadar lebih cenderung memuliakan harta
daripada Tuhan!
Bagi kita harus jelas, memuliakan Tuhan
tidak hanya soal hati dan mulut, atau dengan menolong sesama, tapi juga
mempersembahkan sebagian harta kita untuk pekerjaan pelayanan Gereja.
Sasarannya ialah melalui persembahan, baik persembahan dalam ibadah,
persembahan persepuluhan maupun semua jenis persembahan syukur yang
kemudian dikelola oleh Gereja untuk pelayanan dan kesaksian. Bukan
kepada individu atau yayasan sosial, bukan pula kepada orang miskin dan
para hamba Tuhan karena itu soal lain. Kalau sekarang GPIB menerapkan
persembahan persepuluhan bagi warganya, maka berikanlah dengan taat dan
tidak usah takut. Ini sekaligus menjadi tantangan iman, apakah kita mau
taat atau terus berhitung. Mereka yang dengan setia sudah melakukannya
sejak dulu dapat membuktikan kebenaran janji Tuhan ini. Apakah orang
yang taat memberi persepuluhan - berapa pun jumlahnya - akan dibiarkan
menjadi miskin? Tidak pernah! Kita harus jujur dalam hal ini.
SGU, Minggu, 04 September 2011
Tidak ada komentar :
Posting Komentar