Ada pepatah yang mengatakan bahwa hidup adalah
sejumlah pilihan. Ia ibaratnya pohon oak
yang bertumbuh dari buah acorn kecil.
Kita membuat pilihan dan pilihan kita akan berbalik dan membentuk kita. Kita
adalah kita hari ini karena keputusan-keputusan dan pilihan-pilihan yang dibuat
di masa yang lalu. Selama ini ada di antara kita yang tidak paham bahwa
keputusan kita sekecil apapun itu adalah sangat penting. Hal ini khususnya
benar ketika kita masih muda karena kebanyakan keputusan-keputusan penting kita
buat pada saat kita muda. Keputusan-keputusan itu di antaranya berhubungan
dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
universitas mana yang kita akan
masuk?
Jurusan apa yang kita ambil?
Apakah saya harus menikah? Jika ya, maka
dengan siapa dan bagaimana caranya saya mendapatkan pendamping masa depan saya
dan kapan hal itu akan terjadi?
Apa karir yang akan saya pilih?
Siapa yang akan
menjadi best friend saya?
Musik apa yang akan saya dengar?
Film-film apa yang
akan saya tonton?
Apa yang akan saya minum?
Apakah saya akan minum alkohol?
Apakah saya akan memakai narkoba?
Sejauh apa saya akan melangkah?
Bagaimana
gaya pacaran saya? Apa kriteria saya memilih pacar?
Apakah saya boleh melakukan
hubungan seks sebelum menikah?
Ketika kita bertanya seperti itu maka kita tidak
sendirian. Daniel, seorang pemuda juga menghadapi krisis yang saya seperti anda
di perantauan yaitu di Babilonia. Keputusan yang harus dibuatnya akan sangat
mempengaruhi kehidupannya secara radikal. Latar belakang kehidupan Daniel
ditandai dengan keberadaannya bersama-sama dengan para temannya di Babilonia.
Mereka dipisahkan dari keluarga mereka yang berada di Yerusalem oleh Raja
Nebukadnezar. Daniel dan teman-temannya berasal dari keluarga
terpandang sehingga raja memerintahkan mereka untuk dilatih untuk menjadi abdi
raja. Di sinilah Daniel dan teman-temannya dipaksa untuk berasimilasi di
Babilonia.
Di sekolah di Babilonia, Daniel diharuskan untuk
berasimilasi atau meleburkan diri bersama-sama dengan murid-murid Babilonia
lainnya selama tiga tahun. Namanya diubah menjadi Beltsazar dan ia diharuskan
untuk mempelajari pengetahuan, kebudayaan, sejarah, bahasa dan agama Babilonia.
Daniel mematuhi segala yang diinginkan daripada. Kecuali, ia tidak patuh pada
satu perintah yaitu memakan makanan dan meminum anggur raja. Di sini kita
melihat bahwa bagi Daniel sebuah nama tidak mendefinisikan siapa dirinya; pendidikan
tidak akan menyakiti dirinya. Tetapi apa
yang diterima perutnya begitu menjadi perhatian dan prioritas kehidupannya. Mengapa? Ada tiga permasalahan sehubungan dengan makanan yang
dipersiapkan oleh Raja Babilonia:
1. Tidak
kosher/bersih sesuai dengan peraturan di dalam Perjanjian Lama.
2. Anggur dan makanan telah dipersembahkan
kepada dewa-dewa Babilonia.
3. Makan bersama raja berarti menerima
nilai-nilai yang dianut oleh sang raja. Makan
bersama di satu meja menunjukkan
persahabatan, dukungan, sokongan dan
penganutan nilai-nilai yang sama.
Daniel
menolak untuk menerima nilai-nilai kehidupan
Babilonia yang tidak sama dengan nilai-nilai yang dianutnya. Di sinilah kita bisa mengubah kebudayaan tetapi tidak karakter kita. Kita
dapat mengubah nama kita tetapi tidak sifat dasar kita. Daniel mengubah hal-hal
lahirian tetapi tidak hal-hal batiniah termasuk kenyataan bahwa ia adalah hamba
Allah. Pilihan Daniel ini tentu berbahaya karena dapat menimbulkan kemarahan
raja. Namun ia lebih mengutamakan imannya kepada Allah dari pada bersandar pada
pengasihan siapapun di dunia ini termasuk raja sekalipun. Di sinilah dapat
dikatakan bahwa Daniel memiliki kualitas iman yang tinggi. Apakah kualitas iman itu?
Berbicara
tentang kualitas iman maka Emily Dickinson pernah menulis demikian: Pengharapan
adalah hal yang memiliki bulu yang bertengger di dalam jiwa dan menyanyikan
lagu tanpa kata-kata dan tidak pernah berhenti – sama sekali. Di dalam Lukas
17:5-10 murid-murid Tuhan Yesus berkata kepadaNya: “Tambahkanlah iman kami.”
Mereka ini adalah orang-orang yang telah meninggalkan segala sesuatu dan
mengikuti Yesus dan menemukan diri mereka di dalam arus kebimbangan dan
tersesat di dalam kebingungan. Namun Yesus menjawab, “Jika engkau memiliki iman
sebesar biji sesawi saja, maka engkau dapat mengatakan kepada pohon ara ini
‘tercabutlah dan tertanamlah di lautan’ maka ia akan menuruti engkau.” Di sini
perkataan Yesus ini bisa saja berarti bahwa para murid tidak dapat memindahkan
pohon oleh karena itu iman mereka bahkan tidak sebesar biji sesawi. Namun hal
yang perlu mereka ingat adalah bahwa Yesus sendiripun tidak pernah melalukan
hal tersebut yaitu mencabut pohon ara dan menanamkannya di lautan atau
memindahkan gunung dari tempatnya.
Jika
demikian maka apa itu iman: apakah iman adalah sebuah perasaan dan oleh karena
itu berakar di dalam hati? Apakah iman adalah sebuah doktrin sehingga ia
berakar di dalam pikiran? Apakah iman adalah tentang dunia yang kita kenal atau
yang tidak kita kenal? Apakah ia adalah sebuah misteri atau kebijaksanaan? Ada
saat di mana iman adalah pengharapan namun tidak selalu. Ada saat di mana iman
adalah percaya namun di saat-saat yang sulit iman juga berarti sebuah
kecurigaan yang mendasar. Ada saat iman adalah ketenangan, keberanian,
kedamaian, ataupun kemarahan. Namun iman adalah suatu kepercayaan yang tidak
tergoyahkan , hal yang paling sering didoakan sebagai lawan dari rasa takut dan
bimbang. Yesus sendiri telah memiliki masa-masa di mana ia merasa goyah.
Lebih
lanjut di dalam bacaan kita yang sama, Yesus berpindah dari pohon ara kepada
kehidupan seorang budak. 17:7
"Siapa di antara kamu yang mempunyai seorang hamba yang membajak atau
menggembalakan ternak baginya, akan berkata kepada hamba itu, setelah ia pulang
dari ladang: Mari segera makan! 17:8
Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku.
Ikatlah pinggangmu dan layanilah aku d
sampai selesai aku makan dan minum. Dan sesudah itu engkau boleh makan dan
minum. 17:9
Adakah ia berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan
apa yang ditugaskan kepadanya? 17:10
Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan
kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna;
kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.
Kata-kata
ini sangat menikam karena dikatakan Yesus tentang IMAN adalah bahwa iman
bukanlah sesuatu yang harus kita miliki melainkan sesuatu yang harus kita
lakukan – sesuatu yang kita harus“menjadi” di dalam proses yang tidak pernah selesai. Iman adalah seorang pekerja yang bekerja dengan tidak
mengharapkan pujian atau hadiah tetapi
memahami pekerjaan itu sendiri sebagai bagian dari dirinya sendiri. Bagian dari
keberadaannya sebagai manusia. Bagian dari identitas dirinya. Iman adalah
ketika pohon ara meninggalkan tanah yang memberinya makan untuk tinggal di laut
yang tidak dikenalinya sama sekali [sehingga dapat saja membuatnya mati] karena
ia adalah sebuah pohon yang setia kepada apa yang diperintahkan oleh Sang
Pengatur kehidupan. Jadi ketika kita berdoa agar iman kita ditambahkan maka
yang harus kita sadari adalah bahwa peningkatan iman membutuhkan kerja keras
yang membuat kita capek. Kita ibaratnya adalah pohon yang harus bertahan di
tempat asing. Pengalaman ini akan membuat kita merasakan ibarat pohon yang
diguncang-guncangkan sehingga pertanyaan yang muncul adalah apakah kita bisa
bertahan?
Ada beberapa hal yang harus disadari
tentang iman:
- Memilih untuk beriman di antara penderitaan ini bukan berarti penderitaan akan berlalu secara otomatis.
- Memilih iman di antara penderitaan tidak akan membuat seeorang berhenti untuk bertanya (misalnya Ayub).
- Memilih iman di tengah-tengah penderitaan tidak akan menciptakan logika di balik penderitaan.
Sebaliknya:
- Memilih beriman di tengah penderitaan akan membuat orang selalu mengingat bahwa Allahlah yang memegang kendali atas kehidupan ini.
- Memilih beriman di tengah penderitaan akan menjadi persembahan yang hidup kepada Allah.
- Memilih beriman di tengah penderitaan akan membuat seseorang lebih dekat kepada Allah.
Bukti penyertaan Allah kepada orang yang beriman
dapat dilihat di dalam cerita Daniel di mana karena keteguhannya maka Allah
menganugerahkan kepandaian melebihi penasehat-penasihat dan orang cerdik pandai
raja. Ketika diadakan ujian untuk menguji kemampuannya, Daniel tampil
mengagumkan dan melampaui semua orang di Babilonia.
Lebih
lanjut, keteguhan iman Daniel mengajarkan kita untuk berani tampil beda yaitu
berani berdiri tegak memegang teguh prinsip yang kita miliki dan Tuhan
menghargai pilihan kita tersebut. Tuhan memberikan kepada kita hikmat dan
kebijaksanaan untuk melalui kehidupan kita. Kadang-kadang kita susah untuk mempertahankan
prinsip kehidupan kita karena setiap orang ingin dicintai dan diterima di
lingkungannya. Kita semua diberikan hasrat alami untuk diberi persetujuan,
kasih, dan perhatian positif dari teman-teman kita. Sebagai anak muda banyak
bentuk tekanan yang kita terima sebagai anak muda di antaranya terlibat di
dalam tindakan kekerasan, masuk dalam gang-gang, miras, menggunakan obat-obatan
terlarang, terlibat di dalam seks bebas, menggunakan bahasa-bahasa makian,
merokok hingga melewati batas, tidak menghargai orang tua, bolos kuliah, tidak
mengerjakan tugas, dan lain-lain. Oleh karena itu tips-tips yang diberikan Daniel kepada
kita:
1. Sangat
mudah untuk berdiri bersama-sama dengan banyak orang, tetapi dibutuhkan
keberanian untuk berdiri sendiri. Beranilah
berdiri sendiri!
2. Harus
bijaksana dan cerdas menyiapkan jawaban yang tepat ketika akan menolak
terlibat di dalam hal-hal yang tidak benar.
3. Ketika
kita merasa berdiri sendiri, ingatlah bahwa kita tidak berdiri sendiri. Tuhan
ada
bersama-sama dengan kita. Yesus berdiri
dengan kita! Tetaplah beriman kepada Tuhan karena di situlah kualitas diri kita
akan semakin di asah dan dipermantap. Tuhan beserta dengan kita senantiasa!
(Pembinaan PeLKaT Gerakan Pemuda di Wisma Nangun Kerti - Bedugul Bali )
Oleh
Ira D. Mangililo, PhD
Tidak ada komentar :
Posting Komentar