Materi ke - 29
Pokok Bahasan : Konteks
Gereja
Sub Pokok Bahasan : Sejarah Gereja di Indonesia
Tujuan Pembelajaran Khusus :
- Menjelaskan
pertumbuhan gereja dan penginjilan di Indonesia secara garis besar
- Mengidentifikasi
masalah-masalah yang dihadapi gereja di Indonesia pada kurun waktu masa
VOC dan penjajahan Belanda.
- Menghargai
keberadaan Gereja-Gereja di Indonesia yang berakar pada sejarah masa
lampau.
Bahan Alkitab : Mazmur 78 : 1-11; Kisah Para
Rasul 7.
Kepulauan Nusantara (sekarang Indonesia)
memiliki sejarah yang panjang. Sebelum tahun 400 Masehi (abad 4) telah terjadi
berbagai perkembangan tetapi tidak ada peninggalan tulisan sehingga masa itu
kita sebut pra sejarah Nusantara. Sejarah Nusantara baru dimulai dengan
kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha abad 4 sampai 15 yang tersebar di Kalimantan,
Jawa dan Sumatra. Kerajaan-kerajaan yang terkenal adalah Sriwijaya di Sumatra
Selatan (abad 7-13) dan Majapahit (13-15) di Jawa Timur, yang juga menjadi
salah satu mata rantai dalam jalur perdagangan antar Asia Timur (Tiongkok) dan
Eropa (Italia) melalui jalur laut. Sejak dulu Nusantara terkenal dengan hasil
rempah-rempah antara lain lada, kayu cendana, kemenyan, cengkeh, pala dan kapur
barus. Rempah-rempah itu telah menjadi primadona perdagangan internasional
dengan para pedagang datang dari Cina, India, Gujarat, Persia, Arab dan
kemudian orang-orang Eropa seperti Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris.
Setelah kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang menyebarkan agamanya, muncul
pedagang-pedagang Gujarad, Persia dan Arab yang menyebarkan agama Islam.
Sejarah mencatat bahwa sejak abad
11 telah muncul kerajaan-kerajaan Islam di Aceh, Malaka, Jawa, Kalimantan,
sampai ke Nusantara bagian Timur yaitu Ternate, Tidore dan Hitu.
Kerajaan-kerajaan ini berkembang sampai abad 17 dan menyebarkan Islam yang
menjangkau wilayah-wilayah Nusantara seperti yang kita kenal sekarang. Walaupun
Islam menguasai hampir semua daerah pesisir pulau-pulau di Nusantara, tetapi
agama-agama asli atau suku tetap hidup terutama di pedalaman-pedalaman
khususnya di pulau-pulau yang secara perdagangan tidak menguntungkan, seperti Kalimantan,
Sulawesi dan Papua.
Pada satu ketika jalur
perdagangan rempah-rempah dari Asia (khusus Nusantara) mengalami kemacetan.
Rempah-rempah tidak dapat lagi dibawa ke Eropa. Hal ini disebabkan perang salib
antara orang-orang Arab dan Turki (yang Islam) melawan orang-orang Germania
(Kristen) pada tahun 1095 – 1299 dan berlanjut sampai abad 16. Akibat perang
ini banyak wilayah Kristen di Timur Tengah dan Afrika Utara menjadi Islam.
Malah wilayah Spanyol dan Portugis beberapa abad dijajah Islam.
Kebangkitan melawan Islam
sekaligus sebagai upaya merebut daerah-daerah penghasil rempah-rempah
(Nusantara) muncul ketika Spanyol dan Portugis berhasil mengusir orang-orang
Islam dari Eropa Selatan. Kemenangan ini disambut Paus Gereja Katolik Roma
Aleksander VI yang memberikan mandat kepada Spanyol dan Portugis untuk
menguasai dunia baru bagi Gereja Katolik Roma (d.h.i. Paus). Kita ingat
Colombus yang berlayar ke Barat dan menemukan Amerika tahun 1492 dan Vasca da
Gama ke Timur mencapai India tahun 1498. Malah dengan cepat orang-orang
Portugis menguasai Malaka 1511 dan mendarat di Ternate 1512. Gereja Katolik
Roma secara resmi beribadah di Ternate tanggal 24 Juni 1522 (diperingati
sebagai masuknya Gereja Katolik Roma ke Indonesia).
Mulailah kegiatan Gereja di
Maluku yang dirintis oleh pater-pater Dominikan, Fransiskus dan Agustin.
Belakangan datang membantu pater-pater Jesuit dengan pelayanan Fransiscus
Xaverius pada tahun 1546 sampai 1548. Hasilnya cukup berkembang dengan masuknya
47 desa di Leitimor Ambon Saparua, Haruku, Nusalaut dan Seram Selatan memeluk
Katolik Roma. Gereja Katolik juga menjangkau Sulawesi Utara 1563 tetapi tidak
berhasil membentuk jemaat-jemaat seperti di Maluku. Begitu pula menyebar ke NTT
dan berhasil membangun Jemaat-jemaat Katolik di Flores, Solor dan Timor.
Perjalanan Portugis di Indonesia
penuh dengan tantangan. Tidak hanya dari Sultan-Sultan Islam (pater Simon Vaz
dibunuh di Morotai 1535) tetapi juga dari pihak Belanda dengan Verenigde
Oost-Indische Campagnie (=VOC) badan dagang yang didirikan 1602 yang
berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah di Nusantara.
Terjadilah perang yang menentukan
di Teluk Ambon. Tanggal 23 Februari 1605, kapal-kapal perang Belanda dibawah
Laksamana Steven van der Haghen mengalahkan kapal-kapal perang Portugis dibawah
Laksamana Caspar de Mello. Benteng Portugis jatuh ke tangan Belanda, maka pada
hari Selasa, 27 Februari 1605 diadakanlah Ibadah Pengucapan Syukur di Benteng
Victoria, Ambon. Itulah ibadah Protestan yang pertama di Nusantara (dan Asia).
Sekarang, tanggal 27 Februari tersebut dijadikan sebagai titik tolak ulang
tahun GPI = Gereja Protestan di Indonesia. Sejak itu Ambon dijadikan pusat VOC
di Nusantara dengan dipimpin oleh Gubernur Jenderal. Semua umat Katolik di
Ambon dialihkan menjadi umat Protestan. Dari Ambon dilakukan pelayanan oleh
tenaga-tenaga pendeta dari Belanda yang dibantu oleh perawat orang sakit yang
sebelumnya bertugas di kapal-kapal VOC. Pelayanan menjangkau pulau-pulau di
Maluku bagian Selatan seperti Kei, Aru, Tanimbar, Babar dan Kisar, juga
perjalanan pelayanan dari Bacan ke Minahasa dan Sangir tahun 1675 dan 1689.
Namun perkembangan pelayanan tersebut tidak memuaskan. Orang-orang Kristen di
Maluku bertambah dari 16.000 saat penyerahan dari Portugis (awalabad 17)
menjadi 33.000 pada akhir abad 17. Sejak 1612 telah ditempatkan pendeta di
Ambon dan tahun 1622 dibentuk Majelis Gereja di Banda dan 1625 di Ambon yang
mengorganisir pelayanan. Pendeta-pendeta mendidik guru-guru Ambon yang
selanjutnya berjasa memelihara jemaat - jemaat tatkala tidak ada lagi
penempatan pendeta karena merosotnya VOC.
Sementara itu VOC mencari pusat
perdagangan baru karena Ambon dianggap terlalu jauh. Maka dibangunlah kota
Batavia (=Jakarta sekarang) pada tanggal 30 Mei 1619 dan Jan Pieterzoon Coen diangkat
menjadi Gubernur Jenderal. Lalu bulan Desember 1619, diangkatlah Pdt. Adriaan
Jacobsz Hulsebos (sahabat Coen) menjadi pendeta di Batavia. Ia mengadakan
pelayanan Perayaan Perjamuan Kudus pertama yang dilaksanakan tanggal 3 Januari
1621 sekaligus membentuk Majelis Gereja Protestan di Batavia. Majelis Gereja
Batavia membuka pelayanan berbahasa Belanda di pusat VOC, (Taman Fatahilah
sekarang), Bahasa Portugis untuk orang-orang yang dimerdekakan sebagai pengikut
orang-orang Portugis atau keturunan Portugis di Tugu tahun 1633 (sekarang
Jemaat GPIB Tugu Tanjung Priok). Sebelumnya sejak
tahun 1621 telah dilaksanakan pelayanan berbahasa Melayu yang mengambil lokasi
di luar benteng (sekarang Taman Fatahilah) dan sekarang kita kenal dengan
Jemaat GPIB Sion di Kota. Sementara itu dibuka pos pelayanan bahasa Melayu di
Jatinegara (Gereja GPIB Bethel Kononia sekarang), dilayani oleh Cornellis Senen
(1600-1661), seorang guru Injil asal Banda. Ia seorang kaya yang memiliki tanah
di Jatinegara (yang terkenal dengan Meester Cornellis) dan di daerah Senen
(sekarang terkenal dengan Pasar Senen).
Dari Batavia VOC membuka
pelayanan di Kupang (1613), Malaka (1641), Makasar (1670), Padang (1683),
Surabaya (1708) dan Semarang (1753). Sampai tahun 1624, di Nusantara ini
terdapat 5 (lima) Jemaat, yaitu Banda, Ambon, Bacan, Solor dan Batavia.
Jemaat-jemaat ini pertama kali mengadakan rapat bersama (Sidang Sinode) pada
tanggal 8 Agustus – 20 Oktober 1624 di Batavia untuk memberlakukan peraturan
Gereja Protestan di Nusantara. VOC melakukan kegiatan Gereja sebatas merawat
kerohanian orang-orang Belanda yang berdagang dan pegawai-pegawainya (termasuk
orang-orang pribumi yang menjadi Kristen) di wilayah-wilayah Nusantara, khusus
kota-kota pelabuhan. Perawatan rohani itu mencakup ibadah-ibadah Minggu,
Baptis, Perjamuan Kudus. Katekisasi, pernikahan, pemakaman, menghibur
orang-orang sakit, kunjungan-kunjungan dan penerjemahan bagian-bagian Alkitab
ke dalam bahasa Melayu. Tidak ada data yang menjelaskan bahwa VOC memberitakan
Injil untuk memenangkan orang-orang pribumi yang masih belum beragama. VOC
melakukan tugas rawatan rohani berdasarkan Pengakuan Iman Belanda (1561,
artikel 36 yang menugaskan pemerintah untuk: “mempertahankan pelayanan Gereja
yang kudus, memberantas dan memusnahkan penyembahan berhala dan agama palsu,
menjatuhkan kerajaan Anti-Kristus dan berikhtiar supaya Kerajaan YESUS KRISTUS
berkembang, berusaha agar Firman Injil dikabarkan ke mana-mana, supaya ALLAH
dimuliakan dan dilayani oleh tiap-tiap orang, sebagaimana diperintahkan-NYA
dalam Firman-NYA.”
Sekalipun ada penugasan seperti
ini, tetapi VOC lebih mementingkan perdagangan. Boleh dikatakan tak ada upaya
secara berencana melakukan pekabaran Injil dan mendirikan Gereja di Nusantara.
Masyarakat yang beragama suku (percaya kepada leluhur) tidak dijangkau. VOC
lebih mengamankan kepentingan dagangnya dari rongrongan Sultan-sultan dan raja-raja
Islam. Untuk menjaga kepentingannya. VOC memonopoli perdagangan dan membiarkan
kerajaan Islam berkuasa di daerah-daerahnya masing-masing. Jadi VOC tidak
menjajah Nusantara sampai badan ini dibubarkan tanggal 31 Desember 1799 oleh
Kerajaan Belanda. Korupsi yang merajalela dan merosotnya perdagangan
rempah-rempah menyebabkan badan ini gulung tikar. Secara otomatis pula
jemaat-jemaat yang dilayaninya juga terlantar dan tidak terurus. Bahkan
kebanyakan kembali lagi ke agama sebelumnya. Fakta sejarah membenarkan bahwa
warga masyarakat setempat (=pribumi) menjadi Kristen bukan karena percaya
sungguh-sungguh kepada TUHAN YESUS KRISTUS sebagai Juruselamat. Mereka menjadi
Kristen terutama karena faktor politik yaitu mencari perlindungan kepada
Portugis atau Belanda untuk mempertahankan diri. Juga oleh faktor psikologis
yaitu mengangkat martabat dan kedudukan yang dipersamakan dengan pendatang dari
Eropa. Sehingga mereka mengganti nama dan marganya dengan nama orang-orang
Eropa, walau sering terjadi bahwa orang-orang Eropa itu tidak menjadi teladan
secara moral dan etika. Persoalan-persoalan ini sering menjadi pergumulan
Gereja juga zaman selanjutnya.
Dengan bubarnya VOC, Belanda
secara resmi berkuasa atas Nusantara sebagai wilayah jajahannya sejak 1 Januari
1800. Belanda mulai mengadakan langkah-langkah penataan, namun mengalami
kesulitan karena perkembangan yang terjadi di Eropa. Revolusi Perancis 14 Juli 1789 dan
ekspansi Napoleon Bonaparte
(1799-1815) turut mempengaruhi peta politik di Eropa. Belanda berada dalam
pengaruh Perancis dan permusuhan Perancis dengan Inggris turut menyeret
Belanda. Atas restu Napoleon, Herman Willem Daendels
ditempatkan sebagai Gubernur Jenderal di Nusantara (1808-1811) dengan tugas
mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Daendels gagal mempertahankan pulau
Jawa, dan Nusantara resmi dikuasai Inggris (1811-1816). Thomas
Stamford Raffles menjadi penguasa Inggris di Nusantara dengan pangkat
Letnan Jenderal. Jasa-jasa Raffles tidak hanya terlihat dalam membangun Kebun
Raya Bogor, tetapi juga dalam pelayanan Gereja. Ia mendirikan Yayasan
Penginjilan dan mendorong pertumbuhan Gereja, khusus di Batavia dan Surabaya,
termasuk penerjemahan Alkitab. Inggris mengakhiri peranannya di Nusantara tahun
1816 berdasarkan Konvensi London 1814. Belanda kembali berkuasa dan menerapkan
3 (tiga) kebijakan penting.
Pertama, dibidang
pendidikan di mana penduduk setempat (pribumi) diperkenankan menempuh
pendidikan dasar dan menengah, dengan persyaratan-persyaratan tertentu.
Kebijakan ini terutama didorong oleh gerakan humanism di Eropa dan tanggung
jawab pemerintah untuk mengupayakan kemajuan di antara masyarakat. Pendidikan
dasar dan menengah ini ditingkatkan dengan berdirinya sekolah-sekolah termasuk
sekolah-sekolah zending dan sekolah Teologi.
Kedua, di bidang ekonomi
dalam rangka mengatasi kesulitan ekonomi dan keuangan di Negeri Belanda dan
juga daerah-daerah jajahannya. Masyarakat digerakkan untuk menanam jenis-jenis
tanaman yang dibutuhkan pasaran dunia yaitu: kopi, teh, karet dan kina. Usaha
ini diikuti dengan dibukanya perkebunan-perkebunan di Jawa dan Sumatra.
Kebijakan ini dikenal dengan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel)
sejak 1830. Walau kebijakan inimengalami kemajuan pesat tetapi hasilnya tidak
dinikmati rakyat. Bagi Gereja zaman itu contoh pembangunan di bidang ekonomi
ini mengilhami Gereja juga untuk mendorong pembangunan ekonomi Jemaat, antara
lain dengan membuka lahan untuk kebun-kebun Jemaat.
Ketiga, di bidang agama,
dimana pemerintah memproklamirkan adanya kebebasan beragama, sejak pemerintahan
Daendels di Nusantara. Kebijakan ini dilatar-belakangi oleh aliran Pencerahan
di Eropa abad 18 yang sangat menekankan kemandirian manusia yang bebas dari
semua kuasa di luar dirinya baik yang duniawi maupun ilahi. Manusia bebas
menentukan apa yang baik dan penting bagi hidupnya. Juga dalam hal beragama
atau tidak. Hal-hal yang diluar akalnya tidak harus mengikat dirinya termasuk
Gereja. Kebebasan beragama ini juga tak hanya dipengaruhi aliran pencerahan,
tetapi juga ada aliran lain di kalangan orang-orang Kristen yang disebut
pietisme (= gerakan kesalehan).
Gerakan ini mengajarkan bahwa
hidup saleh ditandai dengan hidup suci yang dibuktikan dengan pertobatan
pribadi oleh kuasa Roh Kudus dan baptis ulang. Selain itu gerakan ini mendorong
orang-orang Kristen untuk tidak terikat pada organisasi Gereja dan bila perlu
berjuang membuat Gereja-gereja bertobat. Mereka membangun solidaritas
orang-orang Kristen dan menggerakkan untuk memberitakan Injil ke seluruh dunia.
Keanggotaan gereja tidak penting.
Kebijakan-kebijakan di atas
diterapkan di daerah jajahan Belanda di Nusantara. Namun tidak mudah, karena
menghadapi masyarakat yang sangat majemuk. Lagi pula masyarakat mengalami
kemiskinan karena perdagangan rempah-rempah merosot tajam. Lalu
kerajaan-kerajaan setempat semakin dikurangi kekuasaannya oleh Belanda.
Nafsu penjajahan menimbulkan kebencian dari masyarakat. Muncullah pemberontakan-pemberontakan
setempat dimulai dari Thomas Matulesy
(Pattimura) di Maluku, 1817; Diponegoro di Jawa, 1825-1830; Imam Bonjol di Sumatera, 1821-1837; Hidayat di Kalimantan,
1859-1852; Sisingamangaraja XII
di Tapanuli, 1878-1907; dan banyak lagi daerah-daerah yang bergolak melawan
Belanda.
Menghadapi keadaan yang bergolak
ini Belanda mengadakan konsolidasi pemerintahan dan menanamkan kekuasaannya di
seluruh wilayah Nusantara. Bersamaan dengan itu disusun dua langkah di bidang
agama untuk menghadapi keadaan, khusus Islam.
Pertama, menghimpun
kembali Jemaat-jemaat Protestan yang telah ada sejak VOC dan mengorganisir
orang-orang Protestan di seluruh wilayah Nusantara ke dalam Gereja Protestan di
India Timur (De Protestantsche Kerk in Oost Indie) dengan keputusan pemerintah
1815 dan dilaksanakan tahun 1840. Dibentuklah Majelis Gereja dibawah Departemen
Perdagangan dan Daerah Jajahan. Pusatnya di Gereja Immanuel, Merdeka Timur 10
Jakarta sekarang. Untuk itu dibangun Gereja Raja Willem (sekarang Immanuel)
tahun 1835-1839. GPI sering disebut sebagai Gereja yang diatur oleh Negara
dengan sistem birokrasi dan organisasi yang ketat. Pembiayaannya oleh Negara.
Kedua, mengizinkan
badan-badan penginjilan dari Eropa masuk ke Nusantara untuk menginjili penduduk
asli yang belum beragama agar menjadi Kristen. Oleh pengaruh Pietisme (seperti
disebut 5.5) terbentuk badan-badan penginjilan (zending) di Inggris, Belanda,
Jerman dan Swiss. Saat Inggris berkuasa di Nusantara, misi dari London bekerja
di Jakarta dan Baptis di Semarang. Selanjutnya penginjilan dari Belanda yang
bekerja di Nusantara. Sedangkan Tapanuli dilayani oleh penginjilan dari Jerman
dan Kalimantan oleh penginjilan dari Swiss. Badan-badan penginjilan ini bekerja
secara mandiri tanpa bergantung pada Negara, walau sering dihambat karena
dianggap merugikan kepentingan politik, ekonomi dan sebagainya dari Negara. Boleh
dikatakan GPI dan Badan-badan penginjilan (zending) bahu membahu melaksanakan
dan mengembangkan kekristenan di Indonesia. Sementara itu gereja Roma Katolik
dengan kebijakan kebebasan beragama di perbolehkan melakukan kegiatan di
Nusantara. Dibangunnya Gereja Katedral baru pada 1891
menandai keagiatan-kegiatan Gereja Katolik Roma dibawah pater-pater Jesuit dan
yang lainnya di Nusantara.
Selanjutnya kita akan mempelajari
secara singkat Gereja Protestan di bawah Negara.
Gereja Protestan yang diasuh
Negara disebut De Protestansche Kerk in Oost Indie, kemudian berganti nama
menjadi De Protestansche Kerk in Nederlands-Indie. Lalu menjelang kemerdekaan
disebut De Protestansche Kerk in Indie. Akhirnya tahun 1948 dirubah menjadi
Gereja Protestan di Indonesia (GPI). GPI, melalui pemerintah
Belanda bekerja sama dengan Gereja Hervormd Belanda (De
Nederlandsch Hervormd Kerk atau Gereja Reformasi/Pembaruan Belanda) menempatkan
pendeta-pendeta Belanda di Indonesia. Mereka melayani di Batavia (= Jakarta), Ambon, Manado/Tomohon,
Kupang, kemudian Semarang, Surabaya, Makasar, Padang dan kota-kota besar lainnya.
Umumnya melayani orang-orang Belanda, pegawai-pegawai dan tentara yang umumnya
berasal dari Ambon, Minahasa dan Timor. Disamping itu GPI bekerjasama dengan
badan-badan zending Belanda (Nederlandsch Zendeling Genootschaap = NZG),
untuk membangun kembali jemaat-jemaat di Maluku. Joseph Kam dipekerjakan di Ambon tahun
1815-1833 dan mengunjungi hampir seluruh wilayah Maluku sampai ke Timor,
Minahasa dan Sangir. Ia digelar Rasul Maluku karena kegiatannya mengunjungi
Jemaat-jemaat, menyediakan tenaga guru, dan fasilitas pelayanan seperti
bahan-bahan khotbah dan katekisasi.
GPI juga bekerjasama dengan NZG
melayani di Minahasa melalui 3 (tiga) penginjil terkenal Gerrit Jan C.
Hollendorn (1827-1839), Johann Friedrich Riedel dan Johann Gottlob Schwarz
(1831 sampai1880-an) termasuk membuka sekolah-sekolah untuk masyarakat. Di
Timor GPI bekerjasama dengan NZG dan disana ditempatkan pendeta-pendeta
penginjil seperti R. le Bruijn (1819) dan Yohanis Condrad Terlinden (1829) di
pulau Rote. Mereka juga melayani dan membuka sekolah-sekolah.
Di lain pihak (di luar GPI)
muncul penginjilan-penginjilan yang dilakukan secara pribadi atau kelompok. Di
Jawa Timur juga tercatat nama seperti: Johanes Emde (1774-1859) yang bekerja di
Surabaya menyebarkan Alkitab, serta mengkristenkan dengan menerapkan budaya
Eropa (harus meninggalkan adat setempat). Conrad Laurence Coolen (1775-1858)
mendirikan desa rohani (Islam dan Kristen) di Ngoro (Selatan Surabaya) dengan
mengajarkan kekristenan secara “ngelmu”, zikir, mempergunakan gamelan, wayang
dan mendorong agar tetap mempertahankan budaya Jawa. Pengikut-pengikut Coolen
bertapa dan mencari hubungan dengan KRISTUS sebagai “Guru”.
Pengikut-pengikutnya antara lain Kyai Ibrahim alias Kyai Ngabdulah alias
Tunggul Wulung yang menginjili di daerah Juwana-Jepara, gunung Muria dan
sekitar. Selain itu Kyai Zadrack (1840-1924) di Purworejo Jawa Tengah. Juga Pa
Dasima serta Paulus Tosari dari Ngoro,
yang mendirikan desa Kristen di Mojowarno sekitar tahun 1834 dan 1840. Dua nama
terakhir ini menjadi perintis berdirinya Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW). Di
Batavia ada nama-nama seperti Cornelis Chastelein pada tahun 1714
membebaskan pengikut-pengikutnya dalam 12 marga (a.l. Jonathans, Bäcas, Sudira)
untuk mengolah tanahnya di Depok (de Eerste Protestant
Organizatie Kerk, Jemaat GPIB Depok sekarang) dan memberikan
mereka 12 marga yang membentuk Jemaat disana. Selain itu ada seorang tokoh
(awam): Mr. F.L Authing, wakil Ketua Mahkamah Agung yang menginjili Kampung
Sawah dan Gunung Putri (Jemaat-jemaat GKP sekarang). Juga Pdt. E.W. King yang
membentuk Jemaat Jatinegara (GKP Rehoboth sekarang).
Selanjutnya GPI mengembangkan
kemandiriannya yang ditandai dengan Keputusan-keputusan Sidang Gereja Am
(=Sidang Sinode) pada tahun 1916, 1933, 1936, 1939 dan memuncak pada tahun
1948. Sesuai keputusan 1933 maka GPI membentuk Gereja-Gereja Bagian yang
berdiri sendiri dalam lingkungan GPI, yaitu: Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) 30 September
1934; Gereja Protestan
Maluku (GPM), 6 September 1935, Gereja Masehi
Injili di Timor (GMIT) 31 Oktober 1947; dan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB)
31 Oktober 1948.
Sebelum GMIM berdiri, muncul
perpecahan di Sulawesi Utara sehingga mendahului terbentuknya GMIM, pada tahun
1933 telah berdiri Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM). GMIM memperluas
penginjilannya ke Gorontalo (muncul Gereja Protestan Indonesia di Gorontalo),
Buol Toli -Toli (menjadi Gereja Protestan Indonesia di Buol-Toli-Toli),
Donggala (Gereja Protestan Indonesia di Donggala).
GPM melaksanakan penginjilan ke
Papua (menjadi GPI Papua). GPI tetap menjadi Gereja dan terbuka menerima
anggota baru antara lain Gereja Kristen Luwuk-Banggai.
Pada jalur lain kekristenan di
Indonesia pada parohan abad 19 (± 1860 an) berkembang melalui pelayanan
penginjilan (zending atau misi) dari Eropa (Belanda, Jerman, Swiss) dan dari
Amerika Utara. Badan-badan penginjilan dari Belandalah yang paling berperan di
Nusantara. Kurang lebih 10 badan penginjilan, yang terbesar adalah Nederlansche
Zendeling Genootschap (NZG) yang bekerja di Maluku,
Minahasa, Jawa Timur, Tanah Karo, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan.
Badan-badan penginjilan Belanda lainnya bekerja di Papua, Halmahera, Sangir
Talaud, Sulawesi Selatan dan Tenggara, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumba, Bali dan
Kepulauan Riauw. Hasil penginjilan dari Belanda itu antara lain : GKP dan GKI
dan GKJW (Jawa), GKPB (Bali), GKS (Sumba), Gereja Toraja, GKST (Sulawesi
Tenggara), GMIST (Sangir Talaud), GMIH (Halmahera) dan GKI Papua. Selain itu
Bala Keselamatan terbentuk di Palu dan Bandung. Badan penginjilan Jerman
(Rheinish Missiongeselschap – RMG) bekerja di Kalimantan dan Tapanuli (terkenal
nama: Nomensen) dan Nias. Pekerjaan mereka di Kalimantan dilanjutkan oleh
penginjilan dari Swiss. Hasil penginjilan mereka menghasilkan antara lain HKBP,
GKPS, HKI, BNKP (Nias) dan GKE (Kalimantan). Selanjutnya penginjilan dari
Amerika Utara berlangsung melalui Kemah Injil (1928) di Kalimantan Timur,
Makasar dan Papua; Gereja Pentakosta (1921) di Jawa Tengah dan Surabaya; Advent
(1900); Metodis menginjili Sumatera Utara (1905). Penginjilan Baptis sendiri
telah masuk di Jawa Tengah tahun 1814 tetapi tenggelam dan baru muncul lagi
tahun 1952. Para penginjil menghadapi medan pelayanan yang tidak mudah. Islam
sudah sangat kuat, agama-agama suku (leluhur) memiliki pengaruh yang berakar
dalam masyarakat, sarana dan prasarana yang belum tersedia dan hidup masyarakat
yang miskin dan butu huruf. Para penginjil tidak hanya memberitakan Injil
secara verbal (kata-kata) tetapi juga membangun masyarakat dengan desa teladan
(seperti Hutadame di Tapanuli atau Kebung Gunung di Sangir, Duma di Halmahera
atau Mojowarno di Jawa Timur). Juga dengan mendirikan sekolah-sekolah umum dan
penginjil, rumah sakit, panti asuhan, kebun-kebun jemaat (ekonomi) serta
membangun relasi dengan masyarakat setempat. Semua usaha penginjilan ini
dikoordinasikan oleh satu badan yang disebut Zendingsconsulaat (1906) sehingga
dihindari konflik antar lembaga penginjilan di Indonesia. Badan ini bekerja
bersama dengan GPI dan membentuk Dewan Gereja-Gereja di Indonesia, DGI
(sekarang: Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia – PGI) tanggal 25 Mei
1950 di Jakarta. Selain itu penginjilan ini juga ditopang oleh Lembaga Alkitab
Belanda yang menyediakan Alkitab dalam bahasa Melayu, menerjemahkan dalam
bahasa-bahasa daerah dan menyediakan tenaga-tenaga penerjemah. Lalu berdiri Lembaga Alkitab Indonesia (LAI)
tahun 1954.
Antara tahun 1920 sampai 1939,
umumnya Gereja-gereja baik yang diasuh Negara maupun badan penginjilan
mengalami kemandirian dan berdiri sendiri. Tenaga-tenaga pribumi telah dididik
melalui sekolah-sekolah pendeta/penginjildan Sekolah Tinggi Teologia di Jakarta (1934)
dan bersiap mengambil alih kepemimpinan dari tangan orang-orang asing (Eropa
dan Amerika). Sementara persiapan pengalihan itu berlangsung, muncul Perang Dunia
II (1940-1945). Gereja-gereja di Indonesia sangat menderita. Selain para
pendeta asing dibunuh atau ditawan, juga orang-orang Kristen dianggap pro
Belanda dan dimusuhi Islam. Walau tidak sedikit orang-orang Kristen yang
berjuang dalam gerakan nasionalisme baik sebelum maupun sesudah PD II,
kecurigaan tetap berlanjut. Berdirinya Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI)
merupakan antiklimaks dari konsolidasi gereja-gereja di Indonesia sesudah PD
II, dan sekaligus memperlihatkan bahwa gereja-gereja di Indonesia merupakan
kekuatan sosial dan keagmaan yang diperhitungkan pemerintah RI di bawah
Presiden Sukarno. Tokoh-tokoh bangsa antara lain seperti Dr .W.Z. Johanes, Mr.J. Latuharhary, Mr. A.A. Maramis, Dr. Sam Ratulangi, Dr.T.S.G.Mulia, Mr. Amir Syarifudin, Dr J. Leimena dan Letjen. T.B. Simatupang, merupakan
orang Kristen yang berperan penting dalam persiapan kemerdekaan dan perjuangan
revolusi kemerdekaan. Mulailah era baru partisipasi gereja dalam masyarakat dan
bangsa dengan Negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sejarah DGI (atau
PGI sekarang) dapat dipelajari dari pelajaran tentang Gerakan Oikumene di
Indonesia. Perkembangan gereja-gereja di Indonesia setelah tahun 1950 banyak
diwarnai oleh peranan gerakan Oikumene baik dari dalam negeri meupun luar
negeri (internasional). Secara internasiomnal gerakan oikumene ini berhadapan
langsung dengan gerakan-gerakan baru dalam gereja-gereja yang memunculkan
aliran-aliran baru, antara lain gerakan kharismatik. Gerakan ini cenderung anti
gereja-gereja “lama” yang dianggap kurang “bergairah” dan tak menampakkan
tanda-tanda Roh Kudus seperti bahasa-bahasa roh, pertobatan dan hidup suci
secara normal dan menjauhi hal-hal duniawi seperti politik. Gerakan kharismatik
ini tidak hanya ingin membarui gereja-gereja Protestan tetapi juga
gereja-gereja Pentakosta yang dianggapnya sudah “membeku”. Gerakan ini muncul
pada tahun 1970-an dan sampai saat ini dengan bebas mengadakan pelayanan
“pertobatan” dan sering mengganggu hubungan antara gereja-gereja di Indonesia.
Kita tiba pada beberapa
kesimpulan :
- Kekristenan masuk ke kepulauan Nusantara
(Indonesia) melalui jalur perdagangan international sebagaimana juga yang
dialami agama-agama lainnya sejak abad 4 Masehi. Baik agama Hindu dan
Budha dari India maupun Islam dari Arab serta Kristen dari Eropa pada
awalnya dibawa oleh para pedagang.
- Masuknya agama-agama ini tidak serta merta
meniadakan agama-agama suku (warisan leluhur suku-suku itu) yang telah beruratakar
di Indonesia. Malah pengaruh agama-agama suku tersebut terasa dalam cara
penghayatan iman yang sering bersifat spiritisme (percaya kuasa-kuasa
roh-roh), mistik (percaya kekuatan-kekuatan gaib),legalistic (mengandalkan
aturan-aturan sebagai jalan keselamatan) dan eksklusif (menganggap diri
sendiri benar dan yang lain jelek).
- Sejak awal perjuangan Kristen dengan Islam (yang
sudah ada sebelumnya) sering ditandai dengan kecurigaan dan yang
mengakibatkan ketegangan bahkan konflik. Keadaan seperti ini sudah muncul
sejak abad 15 di Maluku dan berlanjut seperti yang kita alami dalam
peristiwa Ambon (1999) dan kemudian Poso (2000).
- Gereja-gereja kita, baik diasuh Negara maupun
badan-badan “penginjilan “, umumnya terbentuk dengan latar belakang suku
atau kedaerahan. Sehingga gereja-gereja kita mudah terpecah bukan karena
ajaran tetapi sering oleh factor-faktor non teologis seperti suku, ekonomi
dan kepentingan-kepentingan pribadi/kelompok.
- Gereja-gereja kita sampai pada tahun 1960-an
mengembangkan kemandirian dan berperan dalam masyarakat dan bangsa. Malah
oleh gerakan oikumene internasional belajar dan berusaha merumuskan
teologinya (ajaran, ibadah, pelayanan dan kesaksiannya) dalam hubungan
dengan pergumulan bangsa dan Negara Indonesia. Tetapi setelah tahun 1970
sampai sekarang sering disibukkan dengan soal-soal yang berhubungan dengan
gerakan kharismatik yang banyak berorientasi pada budaya kerohanian
Amerika Utara yang bebas dan cenderung merelatifkan warisan-warisan yang
dipegang gereja-gereja.
Buku-buku Petunjuk untuk
pengajar dan katekisan:
Umum
1. Sejarah Indonesia Modern
1200-2004, M.C.Ricklefs.
2. Agama Murba, Dr. Harun
Hadiwijono, BPK Gunung Mulia Jakarta.
Khusus
- Ragi Carita 1, Dr. Th. van den End, BPK
Gunung Mulia Jakarta.
- Ragi Carita 2, Dr. Th. van den End, BPK
Gunung Mulia Jakarta.
- Sejarah Apostolat I, II/1, II/2,
Dr.J.L.Ch.Abineno, PERSETIA, Jakarta.
- Sejarah Gereja Protestan di Indonesia, Dr.
Samuel B.Hakh dan Drs. Jusak Soleiman (Peny.), BPH GPI Jakarta.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar